Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk menjadi negara pemasok produk olahan rumput laut di dunia, karena memiliki potensi bahan baku yang kaya, namun belum disertai kegiatan industri pengolahan yang maksimal.
Kementerian Perindustrian menyatakan ekspor rumput laut Indonesia saat ini masih didominasi bahan baku kering, dan hanya sebagian kecil yang sudah diolah menjadi bahan setengah jadi dan bahan jadi.

Padahal, Indonesia memiliki kekayaan bahan baku rumput laut seperti Alkali Treated Carragenan, dan Semi Refined Carragenan dan agar-agar. Selain itu, bahan baku rumput laut juga dapat diolah menjadi lebih dari 500 produk jadi (ends product).
"Dengan adanya berbagai kekayaan tersebut membangun industri rumput laut yang kuat merupakan suatu keharusan," kata Wakil Menteri Perindustrian Alex W. Retraubun melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, hari ini.

Hal itu dikatakan Alex saat mendeklarasikan Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (ASTRULI).
Alex berjanji  pihaknya akan berusaha mengembangkan sektor kelautan melalui peningkatan potensi rumput laut yang sangat besar di Indonesia.
"Rumput laut merupakan salah satu sumber kekayaan hayati di sektor kelautan, selain itu juga merupakan komoditi strategis ," ujarnya.

Hingga 2014, menurut Kemenperin, produksi olahan rumput laut baru mencapai 15.638 ton/tahun. Jumlah itu didapat dari  18 unit usaha yang terdiri dari lima unit usaha industri agar, dua unit usaha industry Refine Carageenan (RC) dan 11 unit usaha industry Semi Refined Cerageenan (SRC).
Pada 2008, Indonesia menghasilkan 1,9 juta ton rumpt laut. Hasil tersebut didukung dengan hanya memanfaatkan lahan sebesar 220 hektar atau 20 persen dari keseluruhan lahan yang tersedia, yakni sebesar 1,1 juta hektar.
Pembentukan ASTRULI diharapkan dapat memaksimalkan peran pelaku industri rumput laut dan mampu mensinergikan seluruh tujuan dengan pemangku kepentingan.