...Indonesia akan menguasai dunia dengan produk olahan rumput laut...
.

Senin, 16 Februari 2015

Dengan budidaya rumput laut kesejahteraan masyarakat meningkat




    BUDIDAYA RUMPUT LAUT DORONG KEMANDIRIAN DAN TINGKATKAN KESEJAHTERAAN

    Rumput laut saat ini adalah salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya karena volume produksinya yang cukup besar dan dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir. Produksi rumput laut Indonesia tahun 2013 adalah sebesar 9,28 juta ton meningkat hampir 3 juta ton dari sebelumnya pada tahun 2012 sebesar 6,51 ton. “Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) terus mendorong pengembangan budidaya rumput laut, karena rumput laut adalah komoditas strategis yang mampu mendorong kemandirian masyarakat pesisir melalui usaha budidaya. Terlebih budidaya rumput laut merupakan budidaya yang sederhana yang dapat dilakukan secara berkelompok maupun oleh keluarga, “demikian disampaikan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, di sela-sela Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI di Kabupaten Takalar,Sulawesi Selatan.

    Slamet menambahkan Indonesia saat ini menuju produsen rumput laut terbesar di dunia setelah Tiongkok. Hal ini didukung dengan potensi pengembangan lahan budidaya rumput laut yang masih terbuka lebar, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur. “Indonesia bagian timur dengan curah hujan yang tidak terlalu tinggi mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai sentra rumput laut, salah satunya di Sulawesi Selatan dan juga wilayah lain seperti  Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara dan wilayah Kalimantan seperti di Nunukan dan Tarakan”, tambah Slamet.

    Saat ini yang diperlukan adalah membangun unit-unit pengolahan rumput laut yang dekat dengan sentra – sentra budidaya rumput laut, seperti yang ada di Sumba Timur, NTT. “Dengan dukungan unit pengolahan yang dekat dengan usaha budidaya rumput laut, akan sehingga mempermudah pemasaran dan menurunkan biaya transportasi. Dengan demikian akanmmenambah daya saing dan nilai tambah rumput laut, sehingga mampu bersaing di pasar global”, ungkap Slamet.

    Dari sektor hulu atau budidaya, saat ini telah dikembangkan bibit rumput laut kultur jaringan (kuljar) hasil kerjasama DJPB dan SEAMEO BIOTROP Bogor. “Dengan keunggulan yang dimiliki rumput laut kultur jaringan (kuljar) ini, kendala yang selama ini dihadapi dalam berbudidaya rumput laut seperti kendala lokasi, salinitas, dan curah hujan, dapat diatasi sehingga mampu mendorong peningkatan produksi rumput laut nasional khususnya jenis E. cottonii. papar Slamet.

    Selain rumput laut jenis E. cottonii, di Kabupaten Takalar juga dikembangkan budidaya rumput laut jenis Caulerpa sp. Atau lebih dikenal dengan nama lawi-lawi. Jenis rumput laut ini, banyak dikonsumsi oleh masyarakat Sulawesi Selatan sebagai makanan sehari-hari. “Budidaya lawi-lawi yang dikembangkan oleh masyarakat Desa Laekang Kab. Takalar, merupakan bagian dari tugas DJPB melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) dalam hal ini Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar untuk meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir. Dan hasilnya sungguh luar biasa. Dari lahan tambak seluas 3500 m2, dapat dihasilkan 50 karung lawi-lawi atau 2 ton per bulan dengan harga Rp, 150.000,- per karung atau rata-rata Rp. 7,5 juta per bulan. Dengan hanya mengandalkan pergantian air dan mengurangi kandungan lumpur tambak, masyarakat dapat memperoleh pendapatan yang cukup besar. Yang perlu diperhatikan adalah peremajaan bibit, distribusi hasil atau pemasaran dan juga pengepakan. DJPB melalui BPBAP Takalar akan terus mendampingi”, ujar Slamet.

    Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI

    Dalam kesempatan yang sama, Komisi IV DPR RI yang dipimpin oleh Siti Hediati Soeharto (Titiek Soeharto) menyampaikan kegembiraannya dengan meningkatnya perekonomian masyarakat pesisir Di Desa Leikang. “Komisi IV DPR RI akan terus mendorong dan mendukung program pemerintah yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berkat budidaya rumput laut, ibu-ibu di sini mendapatkan tambahan penghasilan Rp. 50.000,- per hari, Ini akan membantu ekonomi rumah tangga di sini. Yang harus di tingkatkan dan disediakan adalah bantuan permodalan baik dari perbankan maupun dari pemerintah baik pemerintah daerah maupun pusat”, kata Titiek.

    Slamet menambahkan bahwa untuk mendukung akses permodalan bagi pembudidaya, KKP melalui DJPB bekerja sama dengan BPN mengeluarkan program sertifikasi hak atas tanah budidaya atau SEHATKAN. “Sertifikasi hak atas tanah budidaya ini sudah dimulai sosialisasinya sejak tahun 2013 dan mulai dijalankan tahun 2014. Sampai saat ini sudah diterbitkan 1500 sertifikat untuk para pembudidaya, dan akan terus dilanjutkan. Kita harapkan dengan adanya sertifikat ini, akses permodalan untuk pembudidaya akan lebih mudah”, papar Slamet.

    Usaha perikanan Budidaya saat ini dituntut untuk lebih memperhatikan lingkungan dalam pelaksanaannya. Budidaya rumput laut adalah contoh nyata dari budidaya yang memperhatikan lingkungan. “Disamping itu masyarakat pembudidaya harus lebih mandiri dengan menggunakan semua bahan baku dan peralatan yang berasal dari dalam negeri sehingga menjadi lebih mandiri dan mampu memiliki daya saing lebih untuk bersaing di pasar global”, pungkas Slamet.

    Sumber: RMR

Sumber :http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=1085

Mengatasi Bibit bermutu dengan kultur jaringan

BIMTEK DAN TEMU LAPANG BUDIDAYA RUMPUT LAUT
Pesawaran merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Lampung yang mempunyai potensi untuk pengembangan Rumput Laut. Kendala yang dihadapi yakni ketersediaan bibit dalam jumlah cukup dengan kual;itas yang baik, saat ini sudah dapat diatasi melalui teknologi kultur jaringan hasil penelitian SEAMEO BIOTROP Bogor. BBPBL menjadi salah satu institusi yang ditunjuk untuk  melakukan uji multilokasi Budidaya Rumput Laut menggunakan bibit hasil kultur jaringan tersebut di beberapa wilayah di Prop. Lampung yang salah satunya dilakukan di Desa Puhawang, Pesawaran.
Dalam rangka pemantapan teknologi dan keterampilan pembudidaya, pada akhir September 2013 BBPBL telah melakukan Bimtek dan temu Lapang bagi pembudidaya Rumput Laut di dusun Kalangan, Desa Puhawang, Kec. Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran yang tergabung dalam Kelompok Tani Rumput Laut Bina Bersama yang dihadiri juga oleh staf Direktorat Perbenihan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) selaku pembina teknis di masyarakat. Kelompok ini merupakan kelompok binaan BBPBL Lampung, telah menanam  Rumput Laut hasil kultur jaringan pada tanggal 22 April 2013 dengan bibit sebanyak 2,7 kg pada 6 (enam) unit rakit metode Jalur Kombinasi. Satu unit rakit terdiri dari 5 petak, dengan ukuran 5 m x 10 m per petaknya. Hasil monitoring pada tanggal 26 September 2013, biomass rumput laut telah mencapai 2.000 kg (2 ton). Rumput laut hasil kultur jaringan mempunyai keunggulan pertumbuhannya cepat, tahan penyakit, dan terutama dapat diproduksi massal tanpa kendala musim dibandingkan dengan strain lokal sehingga diharapkan mampu mendorong peningkatan produksi rumput laut nasional.
Pada kesempatan tersebut juga dilakukan penyerahan bantuan bibit Kakap Putih ukuran 6 – 7 cm sebanyak 500 ekor. Hal ini merupakan bentuk kepedulian BBPBL kepada para pembudidaya Rumput laut, untuk dapat meningkatkan pendapatannya. 
Perjalanan menuju lokasi

Foto bersama dengan para petani keramba
Kondisi rumput laut hasil binaan BBPBL Lampung
Pertemuan dan diskusi dengan para petani rumput laut
Foto bersama dengan para petani rumput laut


Sumber : http://bbpbl.djpb.kkp.go.id/index.php/component/content/article/1-latest-news/98-bimtek-dan-temu-lapang-budidaya-rumput-laut.html

Tekad KKP Indonesia jadi produsen rumput laut terbesar dunia

KKP jadikan Indonesia produsen rumput laut terbesar



Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) terus mendorong pengembangan budi daya rumput laut melalui kebijakan industrialisasi menuju produsen rumput laut terbesar di dunia setelah Tiongkok. 

"Hal ini didukung dengan potensi pengembangan lahan budi daya rumput laut yang masih terbuka lebar, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur," kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto, dalam siaran pers yang diterima Antara di Bogor, Kamis. 

Slamet mengatakan, rumput laut saat ini merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan budi daya baik sebagai salah satu komoditas industrialisasi tetapi juga karena volume produksinya yang cukup besar.

Produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2013, lanjut Slamet, adalah sebesar 7,68 juta ton. Jumlah ini meningkat lebih dari 2 juta ton dari tahun sebelumnya yakni 5,73 ton di tahun 2012. 

"Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui DJPB terus mendorong pengembangan budidaya rumput laut melalui kebijakan industrialisasi seiring meningkatnya permintaan dunia terhadap komoditas rumput laut yang cenderung meningkat," kata Slamet.

Slamet menjelaskan, Indonesia bagian Tmur dengan curah hujan yang tidak terlalu tinggi mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai sentral rumput laut, seperti di Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara dan juga di wilayah Kalimantan seperti Nunukan dan Tarakan. 

Menurut Slamet, kebijakan industrialisasi untuk komoditas rumput laut sangat tepat untuk mengembangkan komoditas ini baik dari segi peningkatan produksi maupun memberi nilai tambah sehingga rumput laut dari Indonesia mampu bersaing di pasar global.

"Saat ini yang diperlukan adalah meningkatkan dukungan sektor pengolahan terhadap usaha budidaya rumput laut," kata Slamet.

Dukungan yang diperlukan, lanjut Slamet, antara lain didirikannya unit pengolahan rumput laut di sentra-sentra budidaya rumput laut, sehingga mempermudah pemasaran dan menurunkan biaya transportasi. 

Menurutnya, hal ini akan selaras dengan kebijakan industrialisasi yang mengintegrasikan sektor hulu yaitu budidaya dengan sektor hilir yaitu pengolahan. 

Dikatakanya, dari sektor hulu atau budidaya, saat ini telah dikembangkan bibit rumput laut kultur jaringan (kuljar) hasil kerja sama DJPB dan SEAMEO BIOTROP Bogor. 

"Dengan keunggulan yang dimiliki rumput laut kultur jaringan (kuljar) ini, kendala yang selama ini dihadapi dalam budidaya rumput laut seperti kendala lokasi, salinitas, dan curah hujan, dapat diatasi sehingga mampu mendorong peningkatan produksi rumput laut nasional khususnya jenis E. cottonii," ujar Slamet.

Lebih lanjut Slamet, mengatakan, dengan bibit rumput laut kuljar, pengembangan lokasi budidaya rumput laut melalui kegiatan ekstensifikasi dapat dilakukan. 

Ia menyebutkan, penguasaan teknologi dalam hal peningkatan kualitas bibit rumput laut ini perlu di dukung dengan pengembangan kebun bibit rumput laut kultur jaringan sehingga masyarakat tidak mengambil bibit dari hasil pembudidayaannya tetapi dari pembibit rumput laut yang memang fokus pada usaha pembibitan. 

"Sehingga, kualitas bibit tetap terjaga dan ketersediaannya berkelanjutan. Hal ini pun akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja karena membuka lapangan pekerjaan sebagai penghasil bibit rumput laut yang berkualitas," kata Slamet.

Slamet menambahkan, industrialisasi rumput laut telah dilaksanakan sejak tahun 2013 di enam provinsi, yaitu Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. 

"Melalui kebijakan industrialisasi, integrasi hulu dan hilir akan dapat dilakukan dengan mudah karena pembudidaya rumput laut akan dapat dengan mudah memasarkan produknya, sementara pabrik pengolah akan mudah mendapatkan bahan baku," kata Slamet.

Sumber : http://bogor.antaranews.com/m/berita/9324/kkp-jadikan-indonesia-produsen-rumput-laut-terbesar

Lombok sudah kembangkan bibit rumput laut kultur jaringan, Nunukan kapan ?

Lombok, Kembangkan Rumput Laut Hasil Kultur Jaringan


Potensi kelautan dan perikanan di Indonesia belum sepenuhnya tergarap. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produk kelautan dan perikanan yang masih belum banyak dikembangkan. Meskipun begitu, upayanya terus digencarkan. Salah satunya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai mengembangkan industrialisasi marikultur atau produksi perikanan budidaya laut. Salah satu komoditasnya adalah rumput laut.
Kabupaten Lombok, Nusa Tenggara Barat dikenal sebagai salah satu sentra produksi rumput laut. Melirik potensi ini Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (Ditjen PB) KKP mengembangkan rumput laut kultur jaringan, yakni pembudidayaan rumput laut yang dihasilkan secara generatif. Upaya ini bekerjasama dengan Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (Seameo Biotrop), Bogor, Jawa Barat.
Melalui kultur jaringan, diklaim mampu meningkatkan nilai produksi rumput laut. Hasan (56 tahun) pembudidaya rumput laut, di Desa Seriwe,Kecamatan Jaruwaru, Lombok Timur mengatakan hal tersebut. Menurutnya, sistem kultur jaringan rumput laut yang dibudidayakannya lebih dapat bertahan lama. "Melalui pembudidayaan biasa (secara vegetatif) umur 35 hari sudah mulai rontok. Jadi harus dipanen lebih awal. Padahal, rumput laut idealnya dipanen setelah berumur 40-45 hari," kata Hasan Sabtu (3/5) lalu. 
Melalui kultur jaringan, masa panen dilakukan pada usia 40 hari. Hasan mengaku benih rumput laut kultur jaringan ini diperoleh dari Balai Budidaya Laut (BBL)Lombok. Kata lelaki yang sudah 10 tahun membudidayakan rumput laut ini, awalnya ia hanya mempunyai 7 bibit, namun kini Hasan telah membudidayakan sebanyak 80 tali ris, tiap ris memiliki panjang 20 meter. Secara teknis ia dibantu penyuluh dari BBL Lombok.
Hasan, petambak rumput laut dari Kabupaten Lombok itu tak sendiri. Setidaknya, ada lima petambak yang telah menjajal pembudidayaan rumput laut melalui kultur jaringan yang digencarkan sejak empat bulan lalu. "Ini merupakan upaya desiminasi produk dari Balai Budidaya Laut Lombok," kata Ujang Kamarudin Kepala BBL Lombok. Lebih lanjut, ia mengatakan,BBL Lombok berencana membangun labolatorium kultur jaringan sendiri. 
Menurut Ujang, tak hanya rumput laut, BBL Lombok juga mengembangkan budidaya  ikan kerapu lepas pantai (off shore). Tambak ikan laut yang berada di Lombok Timur itu, dilakukan panen perdana oleh menteri kelautan dan perikanan Sharif C. Sutardjo, Sabtu pagi bersama Dirjen PB, Slamet Soebjakto. (AS)

Sumber : http://www.gatra.com/nusantara-1/bali-nusa-tenggara/52056-lombok,-kembangkan-rumput-laut-hasil-kultur-jaringan.html

Indonesia akan pimpin produksi rumput laut dunia

Indonesia Berpeluang Menjadi Produsen Rumput Laut Dunia


Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) terus mendorong pengembangan budidaya rumput laut. Selain salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya juga produksinya cukup besar dan dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir.

Produksi rumput laut Indonesia tahun 2013 sebesar 9,28 juta ton meningkat hampir 3 juta ton dari tahun sebelumnya pada 2012 sebesar 6,51 ton.

“Rumput laut merupakan komoditas strategis yang mampu mendorong kemandirian masyarakat pesisir melalui usaha budidaya. Budidaya rumput laut ini sederhana yang dapat dilakukan secara berkelompok maupun oleh keluarga,“ ujar Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, di sela-sela Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, dalam pesan tertulis, Jumat (12/12).

Slamet menambahkan Indonesia saat ini menuju produsen rumput laut terbesar di dunia setelah Tiongkok. Sebab, potensi pengembangan lahan budidaya rumput laut yang masih terbuka lebar, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur.

Indonesia bagian timur dengan curah hujan yang tidak terlalu tinggi mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai sentra rumput laut, salah satunya di Sulawesi Selatan dan juga wilayah lain seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara dan wilayah Kalimantan seperti di Nunukan dan Tarakan.

Hal lainnya perlu membangun unit-unit pengolahan rumput laut yang dekat dengan sentra-sentra budidaya rumput laut, seperti di Sumba Timur, NTT.
“Dengan dukungan unit pengolahan yang dekat dengan usaha budidaya rumput laut, akan mempermudah pemasaran dan menurunkan biaya transportasi. Sehingga mampu bersaing di pasar global,” ungkap Slamet.

Dari sektor hulu atau budidaya, saat ini telah dikembangkan bibit rumput laut kultur jaringan (kuljar) hasil kerjasama DJPB dan Seamo Biotrop Bogor.
“Kendala yang selama ini dihadapi berbudidaya rumput laut seperti lokasi, salinitas, dan curah hujan sudah dapat diatasi sehingga mampu mendorong peningkatan produksi rumput laut nasional khususnya jenis E. cottonii,” papar Slamet.

Di Kabupaten Takalar juga mengembangkan budidaya rumput laut jenis Caulerpa sp. Atau lebih dikenal dengan nama lawi-lawi. Jenis rumput laut ini, banyak dikonsumsi oleh masyarakat Sulawesi Selatan sebagai makanan sehari-hari. 

Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI
Sementara, Komisi IV DPR RI yang dipimpin oleh Siti Hediati Soeharto (Titiek Soeharto) menyampaikan, Komisi IV DPR RI akan terus mendorong dan mandukung program pemerintah yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Yang harus di tingkatkan dan disediakan adalah bantuan permodalan baik dari perbankan maupun dari pemerintah,” kata Titiek.

Slamet menambahkan bahwa untuk mendukung akses permodalan bagi pembudidaya, KKP melalui DJPB bekerja sama dengan BPN mengeluarkan program sertifikasi hak atas tanah budidaya atau SEHATKAN.

“Sertifikasi hak atas tanah budidaya ini sudah dimulai sosialisasinya sejak 2013 dan mulai dijalankan 2014. Sampai saat ini sudah diterbitkan 1.500 sertifikat untuk para pembudidaya, dan akan terus dilanjutkan. Kita harapkan adanya sertifikat ini, akses permodalan untuk pembudidaya akan lebih mudah,” papar Slamet.

Sumber :  http://www.gatra.com/ekonomi-1/110181-indonesia-berpeluang-menjadi-produsen-rumput-laut-dunia.html

Dengan Bibit Rumput Laut Kultur Jaringan produktivitas akan memingkat

umput Laut Kuljar Siap Mengisi Pasar
Bibit unggul meningkatkan produktivitas dan daya tahan penyakit. Hasil panen pun bertambah.
Rumput laut salah satu komoditas ekspor unggulan. Produksi rumput laut Indonesia pada 2013 ini ditargetkan sekitar 7,5 juta ton atau meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 5,1 juta ton.
Menurut Slamet Soebjakto, Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, kendala usaha budidaya rumput laut adalah ketersediaan bibit berkualitas dan tahan terhadap penyakit. Padahal, kebutuhan rumput laut sangat tinggi untuk bahan baku industri makanan, farmasi, dan kosmetika.
Inovasi Kuljar
Membudidayakan rumput laut bisa jadi alternatif meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir selain dari menangkap ikan. Apalagi hanya perlu waktu 45 hari untuk tanam hingga siap panen. Bibitnya pun hanya dibudidaya selama 30 hari dan cukup sekali tebar untuk digunakan beberapa kali.
Sayang, usaha budidaya rumput laut terkendala serangan penyakit bulu kucing atau lumut bulu yang disebabkan cendawan. Lumut bulu bisa menutupi seluruh permukaan thalus sehingga mencegah proses fotosintesis dan menyebabkan kematian rumput laut. Pada 2009-2010 penyakit ini menyerang rumput laut di Desa Legundi, Kec. Ketapang, Kab. Lampung Selatan, Prov. Lampung mengakibatkan gagal panen hingga pembudidaya tidak lagi berproduksi.
Mengatasi hal itu, Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung bekerja sama dengan Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (Seameo Biotrop), Bogor, Jabar, merakit bibit rumput laut Euchema cottonii berkualitas unggul dengan teknologi kultur jaringan (kuljar). “Rumput laut kultur jaringan ini terobosan yang sangat baik sekali oleh BBPBL Lampung dan Biotrop. Ini dibuat melalui kegiatan rekayasa teknologi sebagai cikal bakal untuk perbaiki kualitas rumput laut di Lampung Selatan. Kuljar ini diambil dari keturunan atau strain yang lebih cepat tumbuh dan kandungan karagenannya bisa lebih tinggi,” papar Dirjen.
Menurut Totok, begitu ia disapa, bibit rumput laut kuljar ini asli dari Indonesia. “Rumput laut itu diisolasi bibitnya, dibiakkan murni, dibesarkan lagi, dikultur di bak, diadaptasikan di laut yang terlindung. Rumput laut kuljar ini produksinya cukup bagus, dibibitnya 7 kali lipat kalau untuk pembesaran 10 kali lipat,” imbuhnya.
Keunggulan
Menurut Slamet Abadi, Teknisi Litkayasa BBPBL Lampung, rumput laut kuljar menawarkan keunggulan.  “Rumput laut kuljar itu mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan rumput laut lokal, lebih tahan terhadap penyakit, kandungan karagenan lebih tinggi, dan bibit rumput laut kuljar ini setiap saat bisa diproduksi, tidak mengenal musim karena pembibitannya melalui lab,” terang Badrun, sapaan akrabnya, kepada AGRINA.
Rumput laut lokal, sambung Badrun, laju pertumbuhan hariannya (LPH) sekitar 4% - 5%. Sementara, LPH rumput laut kuljar berkisar 7% - 11%. Jadi, jika dikalkulasi, hasil panen rumput laut kuljar lebih banyak daripada rumput laut lokal. Bila rumput laut lokal bisa dipanen sebanyak 7 – 10 ton/4.000 m2, produksi rumput laut kuljar mencapai 10-15 kali lipatnya.  
Hasil uji multilokasi di beberapa tempat di Lampung Selatan, rumput laut kuljar lebih tahan terhadap gangguan penyakit bulu kucing yang dua-tiga tahun terakhir marak menyerang rumput laut lokal. “Rumput laut lokal yang sudah kena penyakit paling banter laju pertumbuhannya 2% - 3%. Satu sudah terkena, bisa massal kena semua. Kalau rumput laut kuljar sampai sekarang ini belum kena penyakit. Kalaupun kena cuma sedikit, mungkin di bawah 1%,” ulas pria kelahiran 30 Maret 1981 itu.
Hal ini diakui pula oleh Sumidi, pembudidaya rumput laut sekaligus Ketua Kelompok Bintang Samudra di Desa Ketapang, Kec. Ketapang, Lampung Selatan. Rumput laut kuljar, ujarnya, “Pertumbuhannya lebih cepat dan tahan penyakit. Thalusnya lebih panjang, lebih rimbun. Masa pemeliharaan sama tapi bobot yang dihasilkan lebih banyak, nah hasil panennya lebih tinggi,” ungkap Sumidi.
Lebih menggembirakan, rumput laut kuljar mengandung karagenan 44%, lebih tinggi ketimbang rumput laut lokal yang sebesar 32%. Karagenan digunakan pada industri makanan sebagai bahan pengental, pembuat gel, dan pengemulsi.
Seritifikasi Pembibitan
Penelitian rumput laut kuljar dilakukan sejak Mei 2012. Pada Februari 2013 rumput laut kuljar mulai disebar ke kalangan masyarakat di Desa Bandaragung, Kec. Rawasragi, Lampung Selatan untuk proses pembibitan. ”Pertama 7 ons kita kasih ke petani, kemarin Agustus sudah mencapai 300-an kg,” ucap Badrun.
Saat ini ada empat lokasi uji multilokasi pembibitan rumput laut kuljar, yaitu Desa Bandaragung, Kec. Rawasragi; Desa Ketapang, Kec. Ketapang (Kab. Lampung Selatan) ; Pulau Pahawang, Kec. Marga Punduh (Kab. Pesawaran), dan di Kab. Serang, Banten berturut-turut sebesar 300 kg, 1.200 kg, 1.500 kg, dan 150 kg. Lokasi yang disebut kebun bibit tersebut dipilih karena mendekati sentra budidaya rumput laut.
Untuk menjadi bibit, rumput laut ditanam sebanyak 50 - 100 gr/rumpun dan siap dipanen dalam 30 hari. Bibit rumput laut kuljar ini bisa ditanam pada perairan yang keruh dan salinitas rendah. Totok menjelaskan, perairan keruh menandakan banyaknya kandungan nutrisi di dalam air sehingga bagus bagi pertumbuhan rumput laut. Sebelumnya, lokasi budidaya rumput laut mensyaratkan perairan yang jernih.
Pada perairan yang subur, hasil panen bibit rumput laut kuljar bisa mencapai 400 gr/rumpun. Sedangkan bibit rumput laut lokal dalam 30 hari pemeliharaan hanya mencapai 200-300 gr/rumpun. Slamet menambahkan, bibit rumput laut ini akan dibatasi penggunaannya sebanyak 5-6 kali siklus budidaya untuk menjaga sifat unggulnya. Setelah siklus keenam, akan dikeluarkan bibit baru dari laboratorium BBPBL Ambon. 
Bibit rumput laut kuljar yang siap disebarkan ke masyarakat akan diberi sertifikasi oleh BBPBL Lampung. Bibit ini juga akan dijual dengan harga lebih tinggi.  Bila bibit rumput laut lokal biasa dibandrol Rp3.500/kg, yang hasil kuljar sekitar Rp4.000an/kg.
Windi Listianingsih
sumber : 
http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=10&aid=4665

Bibit Rumput Laut Kultur Jaringan semakin diandalkan

Ingin salip Tiongkok, RI perkuat bibit rumput laut kultur jaringan

Indonesia berupaya mengejar Tiongkok sebagai produsen rumput laut terbesar dunia.Salah satu cara yang diupayakan adalah memperkuat dan mengembangkan bibit rumput laut kultur jaringan di kawasan Timur Indonesia
Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPB KKP) Slamet mengatakan, Indonesia saat ini menuju produsen rumput laut terbesar di dunia setelah Tiongkok. Hal ini di dukung dengan potensi pengembangan lahan budidaya rumput laut yang masih terbuka lebar, khususnya di wilayah Indonesia bagian timur.
"Indonesia bagian Timur dengan curah hujan yang tidak terlalu tinggi mempunyai potensi dikembangkan sebagai sentra rumput laut, diantaranya Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara dan wilayah Kalimantan seperti di Nunukan dan Tarakan," ujar Slamet di Jakarta, Kamis (11/12/2014).
Dari sektor hulu,menurut Slamet, saat ini telah dikembangkan bibit rumput laut kultur jaringan hasil kerjasama DJPB dan SEAMEO BIOTROP Bogor. Varietas bibit ini mampu mengatasi kendala dalam berbudidaya rumput laut seperti lokasi, salinitas, dan curah hujan.
Diharapkan akan mampu mendorong peningkatan produksi rumput laut nasional khususnya jenis E. cottonii.Selain itu,di Kabupaten Takalar juga dikembangkan budidaya rumput laut jenis Caulerpa sp. Atau lebih dikenal dengan nama lawi-lawi.
Menurutnya,jenis rumput laut ini, banyak dikonsumsi masyarakat Sulawesi Selatan sebagai makanan sehari-hari. Budidaya lawi-lawi yang dikembangkan masyarakat Desa Laekang Kab. Takalar, merupakan bagian dari tugas DJPB melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) dalam hal ini Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar.
Dari lahan tambak seluas 3500 m2, menurutnya, dapat dihasilkan 50 karung lawi-lawi atau 2 ton per bulan dengan harga Rp, 150.000,- per karung atau rata-rata Rp. 7,5 juta per bulan. Dengan hanya mengandalkan pergantian air dan mengurangi kandungan lumpur tambak, masyarakat dapat memperoleh pendapatan yang cukup besar.
"Perlu diperhatikan adalah peremajaan bibit, distribusi hasil atau pemasaran dan juga pengepakan. DJPB melalui BPBAP Takalar akan terus mendampingi”, ujar Slamet.
Juga turut diperlukan pembangunan unit-unit pengolahan rumput laut yang dekat dengan sentra – sentra budidaya rumput laut, seperti yang ada di Sumba Timur, NTT. Ini akan mempermudah pemasaran dan menurunkan biaya transportasi. "Daya saing dan nilai tambah rumput laut akan bertambah sehingga mampu bersaing di pasar global," terangnya.
Produksi rumput laut Indonesia tahun 2013 adalah sebesar 9,28 juta ton meningkat hampir 3 juta ton dari sebelumnya pada tahun 2012 sebesar 6,51 ton.kbc11
Sumber : http://www.kabarbisnis.com/read/2853070


Bibit Kultur Jaringan Rumput Laut


Selain sebagai sentra produksi udang, Lampung juga berpotensi untuk menjadi produsen rumput laut. Salah satu kendala dalam budidaya rumput laut yaitu berupa ketersediaan bibit dalam jumlah cukup dan kualitas yang bagus, saat ini sudah dapat diatasi melalui teknologi kultur jaringan. “Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerjasama dengan SEAMEO BIOTROP Bogor telah melakukan kerjasama untuk peningkatan kualitas bibit rumput laut Eucheuma cottonii dan hasilnya adalah telah melakukan kultur jaringan pada spesies ini. Ini merupakan hasil kultur jaringan (Kuljar) E. cottonii yang pertama di Indonesia”, demikian dikatakan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, pada saat meninjau lokasi budidaya rumput laut hasil kultur jaringan di Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan.


Target peningkatan produksi rumput laut pada tahun 2013 mencapai 1.214.299 ton, jumlah pembudidaya sebanyak 37.807 RTP, penyerapan tenaga kerja sebanyak 415.462 orang dan nilai produksi mencapai Rp 1.138 milyar. Target ini perlu didukung dengan ketersediaan bibit unggul rumput laut, yang salah satunya diperoleh melalui teknologi kultur jaringan. “Rumput laut yang dihasilkan melalui teknologi kultur jaringan ini mempunyai kelebihan dan keunggulan mampu dibudidayakan di perairan yang keruh, mampu tetap hidup pada salinitas rendah dan satu lagi tahan terhadap curah hujan tinggi”, tambah Slamet.

Lebih lanjut Slamet menyatakan bahwa dengan keunggulan yang dimiliki rumput laut kultur jaringan (kuljar) ini, kendala yang selama ini dihadapi dalam berbudidaya rumput laut seperti kendala lokasi, salinitas, dan curah hujan, dapat diatasi sehingga mampu mendorong peningkatan produksi rumput laut nasional khususnya jenis E. cottonii. “Pertumbuhan rumput laut kuljar ini juga lebih cepat dibandingkan dengan rumput laut biasa. Kalo rumput laut biasa, dari bibit sampai umur budidaya 20 hari bertambah bobotnya 12 kali, kalo rumput laut kuljar bobotnya meningkat 15 kali lipat”, ungkap Slamet.

Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), saat ini sedang melakukan uji multilokasi terhadap rumput laut kuljar di beberapa titik lokasi di Lampung yaitu di Pahawang,, Ketapang, Sragi dan Legundi dan satu lokasi di Banten yaitu di Lontar. “Saat ini di Ketapang tersedia 7 ton bibit rumput laut kuljar. Padahal pada saat mulai ditebar bibit disini pada bulan April 2013 lalu hanya 4,6 kg bibit rumput laut kuljar. Jadi dalam tempo 6 bulan telah berkembang lebih dari 1000 kali lipat”, papar Slamet

Slamet menambahkan bahwa daerah ketapang, Lampung Selatan ini akan dijadikan kawasan pengembangan budidaya rumput laut di propinsi laut dan merupakan sentra bibit rumput laut kuljar. “Pengembangan rumput laut di kawasan ini akan mendorong perekonomian daerah dan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya”, tutup Slamet.


Sumber berita: http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=914



Minggu, 01 Februari 2015

Mengapa Mengolah Rumput Laut Basah lebih menguntungkan?






Mengapa Mengolah Rumput Laut Basah lebih menguntungkan?

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto, MSi.

Dalam bisnis pengolahan rumput laut yang lazim selama ini, petani diberi tugas untuk membudidayakan rumput laut dan sekaligus mengeringkan hingga menjadi rumput laut kering (RLK) atau disebut sebagai dried seaweed.  Kalau rumput laut jenis cottoni maka hasil rumput laut keringnya disebut dried cottoni.  Sedangkan Pabrik atau Prosesor yang mengolah RLK yang berasal dari petani yang dikumpulkan oleh para Peluncur (Asisten Pengumpul), Pedagang Pengumpul hingga para Pedagang Besar dan para Eksportir.  Dalam hal seperti inilah yang terjadi selama ini, maka sistem ini kita sebut saja sebagai sistem pengolahan konvensional.

Sistem pengolahan pertama dari rumput laut basah (RLB) yang dipanen dari hasil budidaya dari laut ini kemudian dikeringkan secara sangat tradisional dengan dijemur di bawah sinar matahari langsung.  Praktis, jika terjadi hujan atau pun pada malam hari rumput laut yang dijemur ini akan ditutup dengan terpal ataupun yang lain.  Sistem pengeringan tradisional ini tentu saja akan menyebabkan mutu dari RLK menjadi kurang standar atau tidak seragam, karena apabila sering terjadi hujan, maka proses pengeringan ini akan memakan waktu yang lebih panjang.  Dengan proses pengeringan yang lebih lama maka rumput laut yang belum kering ini akan terus ditutup dengan terpal.  Penutupan yang lama tentu akan menimbulkan pengaruh terhadap mutu dan kandungan asli dari rumput laut, bahkan bisa merusak isi dari kandungan rumput laut.

Semakin lama proses pengeringan pada pola tradisional yang hanya mengandalkan matahari, maka akan semakin lama juga rumput laut yang masih ‘basah’ mengalami fermentasi dan juga pembusukan.   Pada proses fermentasi dan pembusukan itu materi rumput laut yang memiliki berat itu akan berubah karena faktor enzimatis yang masih aktif menjadi panas, CO2 dan H2O alias air.  Panas yang terjadi adalah energi yang dihasilkan pada saat proses fermentasi dan pembusukan.  CO2 atau gas Carbon Dioksida akan menguap begitu saja ke udara.  Sedangkan H2O atau air akan menguap dan kemudian mengkondensasi menjadi butir air dan membasahi permukaan luar rumput laut atau plastik terpal yang dijadikan penutup saat malam atau pada kondisi hujan.  Semua itu berakibat pada semakin susutnya berat materi rumput laut.

Konsep yang dikenal oleh petani adalah ‘penjemuran’ dan bukan konsep pengeringan.  Dengan demikian pada konsep penjemuran seolah sudah menjelaskan bahwa proses ini hanya mengandalkan matahari.  Maka jika matahari tidak terlihat karena ada hujan atau pada saat malam hari, rumput laut yang masih ‘basah’ ini akan terus menerus ditutup dengan plastik atau terpal.  Jika hujan terjadi sepanjang hari, maka praktis rumput laut yang masih ‘basah’ itu akan terus ditutupi plastik terpal.   Maka sepanjang waktu itu pulalah proses enzimatis dari rumput laut ‘basah’ tadi tetap berlangsung, apakah itu fermentasi atau kah pembusukan atau respirasi.

Seandainya konsepnya itu adalah ‘pengeringan’ maka harusnya pada saat malam hari atau pun ada hujan harus tetap menjalankan proses pengeringan, yaitu dengan cara memanfaatkan hembusan angin dari alam atau dari kipas dan blower,  memanfaatkan panas buatan dari api atau dari sumber listrik, dan lain-lain.

Rendemen adalah rasio atau perbandingan antara bahan hasil dibagi bahan asal dikalikan seratus persen.   Rendemen Rumput Laut Kering diperoleh dari berapa banyak bahan asalnya yaitu rumput laut basah yang dikeringkan.   Jika ada bahan rumput laut basah sebanyak 100 kg kemudian dikeringkan menjadi hingga kekeringannya standar, yaitu dengan kadar air 37 %, menghasilkan rumput laut kering 10 kg misalnya, maka menghitungnya adalah dari 10 kg dibagi 100 kg dikalikan 100% rendemennya adalah  10%.

Beberapa pengalaman penulis dan juga pengalaman para petani di Nunukan yang menggunakan konsep ‘penjemuran’ untuk mengurangi kadar air rumput laut menjadi layak untuk dijual, yaitu dengan kadar air mencapai sekitar 37%.  Kisaran rendemen bisa digolongkan menjadi 3, yaitu rendemen rendah dengan angka di bawah angka 9 %, rendemen sedang dengan angka antara 9 sampai 11 %, dan rendemen yang tinggi yaitu di atas 11 %.

Rendemen  dan masa pengeringan

Ternyata ada korelasi atau hubungan sebab dan akibat antara angka rendemen yang rendah dengan lamanya penjemuran rumput laut.   Pada penjemuran rumput laut yang mencapai hingga 12 hari baru kering, waktu itu rendemen sekitar 7,5 %dari rumput laut basah menjadi rumput laut kering dengan kadar air sekitar 37 %.  Waktu itu penulis membeli rumput laut basah sekitar 10 ton, setelah 12 hari baru kering karena hampir setiap hari waktu itu cuaca hujan dan mendung terus.  Setelah kering layak jual maka saat ditimbang hanya mencapai sekitar 750 kg.

Masa penjemuran yang terlalu lama, selain menyebabkan rendemennya turun drastis juga mengakibatkan kualitas rumput laut menurun dan bahkan mengalami kerusakan.  Ini bisa dicoba dengan cara sebagai berikut :  jika kita mengolah kembali RLK hasil pengeringan yang relatif lama tersebut dengan cara direndam lagi ke dalam air tawar maka terlihat permukaan rumput laut tersebut seperti diselimuti lapisan berlendir atau seperti tepung yang hancur sehingga air rendaman terlihat keruh.  Ini menandakan kalau rumput laut yang terlalu lama dijemur tadi mengalami kerusakan fisik dan biologis.  Inilah yang menyebabkan rendemen Chips ATCnya menjadi sangat rendah, maka akhirnya Pabrik juga bisa mem’blacklist’ pedagang atau tempat asal bahan baku RLK tadi dari mana dibeli.  Kalau mutu Chips ATCnya saja sudah rendah maka jangan harap rendemen tepung SRC maupun Rcnya bisa standar, pasti akan drop.  Ini tentu akan merugikan pihak pabrik.

Pengalaman yang dialami rata-rata petani dengan cuaca agak bagus, dengan masa penjemuran antara 5 sampai 7 hari, rendemen yang dicapai berkisar pada angka antara 9-10 %.   Petani rumput laut di Nunukan sudah mulai menerapkan sistem penjemuran dengan menggantung tali bentangan yang baru dipanen pada tiang-tiang jemuran.  Cara seperti ini ternyata bisa memperbaiki mutu dan rendemen rumput laut keringnya.  Pada saat cuaca normal maka biasanya petani perlu menggantungnya selama 2 (dua) hari.  Setelah mulai layu dan agak kering rumput laut dilepas dari tali dengan cara di’purut’.   Pelepasan rumput laut dari talinya biasanya dibantu dengan menggunakan alat purut dari balok kayu yang dilubangi dengan ukuran sekedar tali bentangan bisa masuk.  Dengan menarik tali yang berisi rumput laut tadi maka rumput laut akan tertahan dan terlepas pada lubang dibalik balok, maka rumput laut jatuh ke bawah lepas dari talinya.  Penarikan tali pada saat pemurutan ini terhenti jika sudah menemui botol pelampung yang juga diikat pada tali.  Suapaya tidak lepas tali botolnya maka botol diangkat sehingga botol pun aman saat melewati lubang pemurutan.

Setelah rumput laut ini terlepas dan terkumpul maka selanjutnya dilakukan penjemuran dengan meratakan tumpukan rumput laut ini serata dan setipis mungkin.  Semakin tipis dalam menyusun hamparan rumput laut di tempat penjemuran, maka diharapkan proses pengeringan bisa semakin cepat.  Sebaliknya jika semakin tebal maka proses pengeringan semakin lama dan proses pengeringan tidak merata.   Oleh karena itu perlu dilakukan pembalikan secara periodik sesering mungkin agar diperoleh kadar kekeringan yang merata.

Lazimnya proses pengeringan hamparan ini memerlukan waktu sekitar 3 (tiga) hari.  Sehingga jika dijumlah antara proses pelayuan dengan menggantung tali selama 2 (dua) hari, maka jumlah waktu yang diperlukan adalah selama 5 (lima) hari.  Jika cuaca agak mendung dan hujan maka jumlah harinya bisa mencapai 7 hari.  Ini termasuk kategori sedang, dengan hasil rendemen antara 9 – 11 %.

Untuk mencapai hasil rendemen yang tinggi, maka perlu konsep pengeringan cepat atau disebut sebagai Quick Drying.   Proses pengeringan cepat ini bisa dilakukan karena ingin diperoleh rendemen yang tinggi, mutu yang sesuai standar dan rumput laut terhindar dari kerusakan.  Semakin cepat kering berarti proses enzimatis yang mengakibatkan terjadinya proses fermentasi, pembusukan dan proses enzimatis lainnya bisa diminimalkan, sehingga kerusakan jaringan dan perubahan sifat bisa dihindari semiminal mungkin. 

Uji coba mengeringkan dengan jumlah agak sedikit dengan masa pengeringan antara 3 sampai 5 hari, rendemen yang dicapai berkisar antara 11-13 %.  Maka pengeringan cepat bisa dilakukan kurang dari 5 hari, bahkan kurang dari 3 hari.  Pada uji coba skala laboratorium sebenarnya bisa dilakukan pengeringan dari bahan asal RLB dengan sangat cepat atau Very Quick Drying dengan waktu sekitar 8 jam saja hingga menjadi RLK dengan kadar air 15 %.

Pada proses pengeringan rumput laut secara cepat dan sangat cepat akan melibatkan peran serta prinsip-prinsip teknologi pengeringan, yaitu antara lain :
1.    Adanya perlindungan dari terkena pengaruh dari luar seperti air hujan, kadar kelembaban udara sekitar.
2.    Adanya sumber energi yang mampu memberikan derajat panas tertentu untuk memanaskan bahan, media pengering dan udara.
3.    Adanya aliran udara dengan kecepatan dan massa tertentu.
4.    Adanya pengaturan luas bidang penguapan dengan pengaturan ketipisan bahan atau proses bolak-balik bahan.
5.    Adanya pengurangan kelembaban di sekitar bahan yang dikeringkan.
6.    Adanya masa atau waktu yang cukup untuk melaksanakan proses di atas.

Maka akhirnya penulis berani menyimpulkan :
1.    Semakin lama proses pengeringan rumput laut basah menjadi rumput laut kering, maka akan terjadi penyusutan berat semakin banyak.  Penyusutan rendemen itu terjadi karena terjadinya proses enzimatis karena fermentasi dan pembusukan dari rumput laut yang masih ‘basah’.
2.    Sebaliknya jika proses pengeringan bisa dilakukan lebih cepat maka rendemen akan semakin tinggi karena semakin minimalnya terjadi penyusutan.
3.    Maka perlu dilakukan perubahan pola pasca panen dari konsep ‘penjemuran’ menjadi konsep ‘pengeringan’ dengan menggunakan teknologi pengeringan yang sudah sangat lazim dilakukan pada produk-produk pertanian dan perikanan yang lain.
4.    Dengan konsep pengeringan yang tepat dan cepat, maka akan diperoleh nilai tambah yang sangat signifikan dalam meningkatkan kuantitas, kualitas dan pendapatan pada bisnis rumput laut secara keseluruhan.

Jika hal ini dihubungkan dengan analisa terhadap perbandingan bahan baku pabrik yang biasanya mengandalkan setoran dari RLK yang diproses oleh para petani yang dilakukan dengan sistem pengolahan Konvesional.   Terlihat sangat jelas perbedaannya dengan pengolahan yang dilakukan secara Ideal dalam suatu laboratorium sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini.





Gambaran dari Tabel di atas memang masih dapat diperdebatkan, hal ini karena perbandingan ini dilakukan atas hasil kajian yang berbeda waktu, ruang dan metode yang dilakukan.  Namun sengaja penulis menyajikan hal ini untuk menjadi kajian lebih lanjut dengan metode yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Sistem pengolahan konvensional yaitu yang sudah lazim terjadi selama ini, dimana RLB yang dipanen oleh petani kemudian dilakukan proses secara tradisonal yang tidak terstandar cara, alat serta prosedurnya, sehingga menghasilkan RLK dengan mutu yang sangat beragam.  Bahan RLK yang diperdagangkan hingga kemudian menjadi bahan baku pabrik pengolahan (Processor) diolah menjadi Chips ATC, Tepung ATC, SRC, RC dan Keraginan Kertas.   

Dari tabel yang disajikan diatas, diproyeksikan dengan bahan baku RLB sebanyak 1000 kg, maka pola konvensional ini akan diperoleh produk sebagai berikut, jika :
1.    RLK dengan kadar air sekitar 37% sebanyak 100 kg, dengan nilai sebesar Rp  1.200.000.
2.    Chips ATC dengan kadar air sekitar 15 % sebanyak 31,5  kg, dengan nilai sebesar : Rp 1.890.000.
3.    Refined Carageenan (RC) sebanyak 23,6 kg, dengan nilai sebesar Rp 4.720.000.

Pada suatu uji coba yang sangat ideal yang dilakukan di dalam laboratorium, dimulai dengan mengolah RLB yang segar berasal dari panen di laut.  Proses pengeringan sangat cepat dilakukan dengan bantuan oven dengan expose aliran panas konstan tertentu  yang sebelumnya juga melalui treatment larutan alkali.   Hasil yang diperoleh sangat mencengangkan, sebagai berikut :
1.    RLK dengan kadar air sekitar 37% sebanyak 120 kg, dengan nilai sebesar Rp  1.440.000.
2.    Chips ATC dengan kadar air sekitar 15 % sebanyak 67,92 kg, dengan nilai sebesar Rp   4.075.200.
3.    Refined Carageenan (RC) sebanyak 45,96 kg, dengan nilai sebesar Rp 9.192.000.

Dari angka di atas sudah menjelaskan kepada kita bahwa sangat penting dan strategis untuk  melakukan pengelolaan awal yang benar terhadap produk rumput laut ini, yaitu mengelola dengan benar dan cepat terhadap rumput laut basah (RLB) dengan sistem pengeringan yang cepat  menjadi rumput laut kering yang berkualitas prima.  Sebab dengan RLK yang berkualitas prima lah yang nanti akan menentukan nilai hasil baik dalam kuantitas maupun kualitas produk-produk hilir rumput laut selanjutnya. 

Ternyata pola konvensional ini harus segera diperbaiki agar mampu memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap hasil rumput laut kering, chips ATC maupun hingga tepung Keraginannya.  Hal ini harus sangat diseriusi agar potensi kehilangan diperkecil, dan sebaliknya prospek nilai tambah ini dimaksimalkan untuk kemajuan, kemandirian, daya saing dan keberlanjutan usaha bisnis rumput laut ini di seluruh Indonesia.  Tentu saja wa bil khusus Kabupaten Nunukan, dimana penulis ada di dalamnya.

Bagaimana menurut Anda ???