...Indonesia akan menguasai dunia dengan produk olahan rumput laut...
.

Jumat, 10 Januari 2014

KESALAHAN BESAR POLA PENGERINGAN DALAM SISTEM BISNIS RUMPUT LAUT INDONESIA


KESALAHAN BESAR POLA PENGERINGAN DALAM SISTEM BISNIS RUMPUT LAUT INDONESIA

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto


Paradigma bisnis rumput laut  selama ini membiarkan kondisi kadar air tinggi bahan pangan rumput laut pada selang waktu yang sangat lama.  Hal ini terjadi dalam sistem bisnis rumput laut Eucheuma cottonii di seluruh dunia dan khususnya juga di Indonesia.   Dari rumput laut basah setelah dipanen dari laut dengan kandungan kadar air sekitar 92,5 % memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencapai kekeringan bahan dengan kadar air sekitar 38% yang selama ini dikelola di tingkat petani.   Pola pengeringan yang umumnya dilakukan oleh para petani secara tradisional dan sangat tergantung dengan keadaan alam.

Dalam proses bisnis rumput laut kering sebagai bahan mentah selanjutnya di tangan para pedagang pengumpul dan para pedagang besar hingga eksportir atau pabrikan,  selama ini memerlukan waktu yang sangat panjang dalam kondisi bahan mentah rumput laut dengan kadar air antara 35-38 %.   Dalam ilmu pangan dan gizi yang mempelajari tentang kerusakan bahan pangan, maka dapat dipahami, bahwa bahan pangan yang berupa rumput laut pada kondisi tersebut akan mengalami kerusakan selama kurun waktu tersebut.  Inilah yang terjadi dalam bisnis rumput laut kita selama ini.

Kesalahan besar ini terjadi akibat pembiaran terhadap penanganan bahan pangan dengan kandungan gizi yang tinggi pada kondisi yang menyebabkan perubahan enzimatis yang berlangsung sangat lama.   Waktu yang sangat lama, yaitu antara 48 sampai dengan 107 hari,  itu sangat memungkinkan terjadinya perubahan enzimatis yang berakibat pada susutnya jumlah dan mutu karaginan di dalam rumput laut.  Dari pengamatan, data dan referensi selama ini dapat disusun perkembangan tahapan dan lamanya proses kekeringan rumput laut dari petani hingga diolah di dalam pabrik sebagai berikut :
1.    Di tingkat Petani selama 10 – 15 hari dengan kisaran kadar air bahan rumput laut dari basah dengan kadar 80 - 92,5 % selama 4 hari, 40 – 80 % selama 5 -10 hari dan 35 – 40 % selama 3 hari.
2.    Di tingkat pedagang selama 8 – 22 hari, dengan kisaran kadar air 35 – 38 % selama 1-2 hari  dan di kisaran kadar air 30 – 35 % selama 7 – 20 hari.
3.    Di tingkat eksportir hingga akan diproses di pabrik selama 30 – 70  hari dengan kondisi bahan rumput laut dengan kadar air 30 – 35 %.

Tiga tahapan itu seperti yang tersaji ringkas pada tabel berikut ini :


 
Akibatnya, ada kesenjangan yang sangat lebar antara kondisi yang selama ini berkembang di lapangan (seperti di atas) jika dibandingkan dengan kondisi ideal yang seharusnya dalam pengelolaan bahan pangan.   Pengelolaan yang ideal setelah bahan pangan itu dipanen dari lahan budidaya adalah dilakukan penghentian atau minimalisasi proses enzimatis pada bahan sehabis dipanen secepat-cepatnya.   Untuk bahan yang mengandung tepung seperti biji-bijian (padi, jagung, kedelai dan lain-lain) paling aman disimpan dalam keadaan kering dengan kadar air maksimal 14%.  Kalau biji-bijian tadi diharapkan untuk benih kembali maka dianjurkan untuk disimpan pada keadaan lebih kering lagi yaitu pada kadar air 12%.

Rumput laut sebagai bahan baku untuk produk-produk pangan, kesehatan, kosmetik maupun industri lainnya, supaya awet dan tidak mengalami banyak kerusakan, maka idealnya juga harus diperlakukan menurut kaidah dan ilmu tentang pengelolaan bahan pangan yang baik.   Maka jika diperbandingkan  antara kondisi perlakuan konvensional dengan kondisi yang ideal dalam pengelolaan rumput laut selama ini, maka sudah terjadi kerusakan bahan pangan berupa chips atau keraginan sekitar 50% yang hilang dan susut selama proses pengolahan.  Dalam proses pengolahan selama ini bahan rumput laut terekspos dengan kadar air relatif tinggi (di atas 30 %) selama 48 sampai 107 hari, yang akhirnya mengalami banyak kerusakan dan terbuang pada saat pencucian, ekstraksi dan granulasi  di dalam proses industri. 

Dengan pola selama ini ternyata hasil RLK kita hanya mampu menghasilkan rendemen Chips ATC sebanyak 30-34 % dari RLK atau 3-3,4 % dari RLB.   Sedangkan RC yang dihasilkan hanya sekitar 20–25 % dari berat RLK atau 2-2,5 % dari RLB.  Coba bandingkan dengan sistem ideal yang dilakukan dengan pola pengeringan cepat hingga kadar air 15 % langsung dari rumput laut basah dengan pencucian alkali. Hasil RC yang diperoleh sekitar 4,5 % dari RLB.  Atau kalau dalam bentuk Chips ATC sebanyak sekitar 6,8 %, sebagaimana data pada tabel di bawah ini.  Maka bisa dikatakan ada sekitar 50% produk hilir terbuang karena kesalahan paradigma bisnis rumput laut kita selama ini.


 
Kandungan keraginan rumput laut Eucheuma cottonii atao Kappaphycus alvarezi

Kappaphycus merupakan jenis rumput laut yang banyak dicari untuk kepentingan industri makanan, obat - obatan dan kosmetika di dunia karena mengandung zat karaginan yang merupakan bahan campuran (additives).  Kadar karaginan dalam setiap species Kappaphycus berkisar anatara 54%-73% sedangkan di Indonesia berkisar antara 61,5% - 67,5%. (Nur Masita Amiluddin, 2007)


 
Kerusakan besar itu terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :
1.    Kondisi rumput laut berhenti proses asimilasinya setelah diangkat dari laut
2.    Kondisi reaksi enzimatis aktif setelah rumput laut terhenti pertumbuhannya
3.    Terjadinya proses fermentasi dan pembusukan yang menyebabkan panas, air dan CO2 dan gas-gas hasil reaksi enzimatis lainnya seperti CH4, NH4 dan lain-lain.
4.    Kondisi proses pengeringan yang lama dengan kadar air dan suhu tinggi yang merangsang proses enzimatis lebih aktif.
5.    Degradasi bahan rumput laut terjadi sangat lama dan tidak disadari dianggap suatu hal yang biasa dan tidak berpengaruh apa-apa.

Akibatnya adalah :
1.    Terjadinya penyusutan karena proses fermentasi bahan rumput laut selama proses pengeringan yang sangat lama.  Bahan yang terdapat di dalam rumput laut terfermentasi menjadi bahan bentuk lain dan bentuk konversi lainnya berupa energi panas, CO2 (atau bentuk gas lainnya) dan air.
2.    Terjadinya material terfermentasi (fermented material atau disingkat FerMat) yang terikut pada bentuk RLK.
3.    Fermat  yang terkandung dalam RLK terbut akan tercuci dan terbuang dari proses pembuatan Chips ATC dan hingga keraginan.
Untuk jelasnya bisa dibandingkan 2 diagram berikut ini.  Sebelah kiri adalah proses konvensional yang selama ini dilakukan, dan diagram sebelah kanan adalah konsep ideal yang memberi hasil maksimal.
 



Setiap tahun Indonesia memproduksi hampir 5 juta ton rumput laut basah (RLB).  Pada tahun 2014 nanti diharapkan Indonesia mampu meningkatkan produksi dari budidaya rumput laut hingga 10 juta ton.  Selama ini sebagian besar hasil (85 %) yang dijual ke luar negeri adalah hanya berupa bahan mentah berupa rumput laut kering (dried cottonii) disingkat RLK.  Hanya sekitar 15 % yang diolah lebih lanjut menjadi Chips ATC, Semi Refined Carrageenan (SRC) dan Refined Carrageenan (RC).  Jika keadaan ini tidak berubah, maka proyeksi 2014 dan seterusnya nanti ada produksi 10 juta ton RLB atau dikeringkan menjadi 1 juta ton RLK.  Sebanyak 850 ribu ton yang diekspor dan hanya 150 ribu ton yang diolah menjadi  produk hilir tadi. 

Dari 10 juta ton rumput laut basah yang dipanen oleh seluruh petani rumput laut se Indonesia ini, seandainya dikelola seluruhnya dengan sistem yang ideal maka akan diperoleh nilai devisa sebagai berikut :
1.    Dalam bentuk 10 juta ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 10,5 trilyun
2.    Menjadi 1,2 juta ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 14,4 trilyun
3.    Atau 679.200 ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 40,752 trilyun
4.    Atau 459.000 ton Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 73,536 trilyun

Namun, seandainya dari 10 juta ton rumput laut basah yang dipanen oleh seluruh petani rumput laut se Indonesia ini dikelola seluruhnya dengan sistem konvensional seperti selama ini, maka akan diperoleh nilai devisa sebagai berikut :
1.    Dalam bentuk 10 juta ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 10,5 trilyun (sama)
2.    Menjadi 1 juta ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 12 trilyun (selisih 0,2 juta ton RLK dengan nilai Rp 2,4 trilyun)
3.    Atau 315.000 ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 18,9 trilyun (selisih 364.200 ton ATC Chips atau senilai Rp 21,852 trilyun)
4.    Atau 236.000 ton Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 37,76 trilyun (selisih 223.600 ton RC atau senilai Rp 36,296 trilyun).

Selengkapnya bisa dilihat pada data tabel perbandingan berikut ini :




 
Kalau untuk skala Kabupaten Nunukan yang sekarang ini data hasil produksi adalah sekitar 1000 ton RLK atau beasal dari 10.000 ton RLB per bulan.   Maka jika disusun perbandingan seperti tabel di atas adalah sebagai berikut :


Maka jika dihitung dari 10.000 ton rumput laut basah yang dipanen setiap bulan oleh seluruh petani rumput laut se Kabupaten Nunukan ini, jika dikelola seluruhnya dengan sistem yang ideal maka akan diperoleh nilai devisa sebagai berikut :
1.    Dalam bentuk 10.000 ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 10,5 milyar
2.    Menjadi 1.200 ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 14,4 milyar
3.    Atau 679,2 ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 40,752 milyar
4.    Atau 459 ton Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 73,536 milyar

Namun, seandainya dari 10.000 ton rumput laut basah setiap bulan yang dipanen oleh seluruh petani rumput laut se Kabupaten Nunukan ini dikelola seluruhnya dengan sistem konvensional seperti selama ini, maka akan diperoleh nilai devisa sebagai berikut :
1.    Dalam bentuk 10.000 ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 10,5 milyar (sama)
2.    Menjadi 1.000 ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 12 milyar (selisih 200 ton RLK dengan nilai Rp 2,4 milyar)
3.    Atau 315 ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 18,9 milyar (selisih 364,2 ton ATC Chips atau senilai Rp 21,852 milyar)
4.    Atau 236 ton Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 37,76 milyar (selisih 223,6 ton RC atau senilai Rp 36,296 milyar).

Maka jika dihitung dalam setahun atau selama 12 bulan, maka selisih nilai proyeksi antara sistem ideal dan konvensional selama ini adalah :

1.    Dalam bentuk 120.000 ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 126 milyar per tahun.
2.    Menjadi 12.000 ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 144 milyar (selisih 2400 ton RLK dengan nilai Rp 28,8 milyar)
3.    Atau 3.780 ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 226,8 milyar (selisih 4.370 ton ATC Chips atau senilai Rp 262,224 milyar)
4.    Atau 2.832 ton Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 453,12 milyar (selisih 2.683 ton RC atau senilai Rp 429,312 milyar).

Atau selengkapnya seperti tersaji dalam tabel berikut ini.



Dari hitungan proyeksi seperti di atas bisa dibayangkan besarnya nilai yang terbuang sia-sia karena kesalahan paradigma dalam iklim bisnis rumput laut selama ini.  Sungguh besar nilai tambahnya jika kita melakukan sistem bisnis rumput laut dengan paradigma  dengan dasar keilmuan yang benar.  Ada tanda kesyukuran atas ni’mat Tuhan yang telah dilimpahkan berupa produk rumput laut di negeri ini.  Alam laut yang sedemikian bersahabat ini rupanya telah menyediakan menghamparkan ni’mat yang lebih besar seandainya kita bisa mensyukurinya dengan memperlakukan rumput laut ini dengan perlakuan pengolahan dan penyimpanan yang benar.  Dan ilmu itu sudah pernah diberikan Tuhan melalui hamba-hambanya yang berilmu pengetahuan tentang pengelolaan bahan pangan.

Fabiayi ‘alai Robbikuma tukadziban....
Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan !?? 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar