...Indonesia akan menguasai dunia dengan produk olahan rumput laut...
.

Jumat, 28 Januari 2011

No Green Tonik, Yes Cottonii Organik

No Green Tonik, Yes Cottonii Organik

Sumber: Boedi SJ (JasuDa Net)


Green Tonik (GT) sempat menjadi polemik dan konflik sosial petani di Kabupaten Sikka. Petani yang mencoba GT, begitu nama bekennya sangat takjub. Pemakaian GT memacu pertumbuhan rumput laut cottonii di kawasan Teluk Maumere. Dalam waktu tiga atau empat minggu, pertumbuhan cottonii dua kali lipat dari pertumbuhan normal. Kecepatan tumbuh dan panen lebih cepat. Petani lebih mendapatkan hasil. Waktu tanam yang biasanya enam sampai tujuh minggu dipersingkat tiga atau empat minggu saja. Luar biasa!


Lima tahun lalu, beberapa petani seperti di Dambila, Permaan telah mulai memakai GT. Setiap pertemuan dan pelatihan petani, GT selalu menjadi bahan diskusi yang berakhir dengan perdebatan. GT seperti yang tertera dalam labelnya adalah pupuk cair (non organic) untuk semua jenis tanaman, mengandung unsur makro: N Total (0,59%), P2O5 (0,57%), K2O (1,570%), SO4 (0.11%), CaO (0,073%), MgO (0,009%) dan unsur mikro : Fe (27,70 ppm), Cu (0,011 ppm), Zn (0,58 ppm), B (0,74 ppm) dan Mo (1.926 ppm). Kehebatan GT waktu itu bisa jadi mirip dengan kasus GT (Gayus Tambunan) saat ini. Setiap hari petani beradu argumentasi dan ngerumpi tentang GT.

Pertama kali memfasilitasi pertemuan dan pelatihan petani tahun 2006, saya lebih banyak mendengar dari petani. Petani yang pro GT menjelaskan kelebihan GT. Pertumbuhan dan panen lebih cepat. Tidak perlu masa tanam empat puluh lima hari sehingga bisa meningkatkan produksi. Pihak yang kontra GT menanggapi sebaliknya. GT merusak mutu cottonii Maumere karena harus panen lebih cepat. Jika tidak dipanen umur dua puluh satu sampai tiga puluh hari, cottonii langsung rontok.

Pengaruh GT menyebabkan cottonii cepat besar. Super cottonii, begitu mereka memberi nama. Sayang, super cottonii harus dipanen sebelum waktunya karena mudah rontok. Jika tidak cepat panen, petani tidak mendapatkan hasil karena cepat rontok. Beda dengan cottonii organik yang tidak memakai GT dan tumbuh alami memerlukan waktu empat puluh lima hari untuk mendapatkan besar yang sama dengan super cottonii. Namun cottonii organik tidak cepat rontok. Yang lebih penting lagi kadar karaginan (tepung rumput laut) sudah terbentuk optimal.

Hanawi, petani yang menjadi guru saya dalam budidaya cottonii menjelaskan hasil pengujian sederhana. Dia pernah minta super cottonii 10 kg dari petani yang menggunakan GT, kemudian dikeringkan dan dibandingkan hasilnya dengan cottonii organik. Perbandingan berat kering dan basah super cottonii rasionya lebih kecil. Sampel 10 kg super cottonii basah menghasilkan kurang dari 1 kg super cottonii kering sedangkan cottonii organik dengan perlakuan yang sama bisa mendapatkan hasil kering lebih dari 1 kg. Kurang lebihnya ada beda sekitar 0.5 kg. Meskipun tak ada catatan, saya percaya pada Hanawi. Dia juga menjelaskan, cottonii organik yang kering lebih ulet dan tidak getas dibandingkan super cottonii.
Saya mendapatkan titik terang dan mengambil kesimpulan pada akhir pertemuan untuk tidak menggunakan GT. Pasti kualitas cottonii kering yang menggunakan GT tidak sebaik cottonii organik. Kadar karaginan yang terkandung dalam super cottonii pasti rendah karena harus panen sebelum waktunya. Sayang waktu itu tidak mendapatkan pupuk GT dan sampel super cottonii kering. Hanawi sudah mencoba mencarikan sebotol GT dari toko dan petani yang memakai GT. Sepertinya mereka menutup diri dan main sembunyi karena khawatir kalau hasil testnya negative.

Pengujian dan laboratory test harus dilakukan. Perlu waktu dan biaya tentunya. Namun secara logika berpikir sederhana, GT tidak ada manfaatnya. Pertama perlakuan pemupukan jelas tidak berguna. Hasil kering super cottonii lebih rendah dari pada cottonii organik. Perendaman memerlukan waktu kerja tambahan dan kerja tidak efisien. Yang lebih penting lagi, kualitas super cottonii bisa menjadi bumerang cottonii Maumere yang sudah terkenal jika hasil test ternyata kadar karaginannya rendah.

GT sudah menjadi obat kuatnya cottonii. Petani melakukan prosesi perendaman bibit cottonii dalam drum dan bak-bak perendaman berisi larutan GT. Setiap pertemuan, saya selalu mendapatkan pertanyaan apakah petani boleh menggunakan GT. Lima kali pertemuan sejak tahun 2006 – 2007, jawaban selalu sama No Green Tonik, Yes Cottonii Organik. Beberapa petani, terutama dari desa Koja Doi sependapat dan melakukan kampanye anti GT. Apalagi setelah mereka melihat suburnya lumut yang tumbuh di lokasi budidaya super cottonii. Satu bukti pencemaran telah terjadi di lokasi tanam.

Sayang, distributor pupuk dan para petani yang ingin mendapatkan keuntungan sesaat tidak dapat dibendung. Para pedagang mendapat insentif dari distributor yang tak kalah gencar berkampanye manfaat GT. Seperti halnya kampanye politik, pencitraan GT berhasil. Super cottonii lebih disukai petani. Lumut yang tumbuh di lokasi tanam dibiarkan dan tak dibersihkan. Suatu saat cottonii akan mati dan lokasi tanam tak menumbuhkan cottonii lagi.

Pengalaman adalah guru terbaik, setelah hampir tiga tahun tidak menghasilkan cottonii, kini Koja Doi dan teluk Maumere bangkit lagi. Cottonii mulai tumbuh dan semua petani berharap mendapatkan manfaat dari budidaya cottonii. Semoga saja teluk Maumere tidak tercemar lagi. No Green Tonik, Yes Cottonii Organik.


Sumber : http://www.jasuda.net/index_mbr.php?page=berita_detail&recordID=415

Tidak ada komentar:

Posting Komentar