KESALAHAN
BESAR POLA PENGERINGAN DALAM SISTEM BISNIS RUMPUT LAUT INDONESIA
Oleh : Ir. H. Dian
Kusumanto
Paradigma bisnis rumput
laut selama ini membiarkan kondisi kadar
air tinggi bahan pangan rumput laut pada selang waktu yang sangat lama. Hal ini terjadi dalam sistem bisnis rumput
laut Eucheuma cottonii di seluruh dunia dan khususnya juga di Indonesia. Dari rumput laut basah setelah dipanen dari
laut dengan kandungan kadar air sekitar 92,5 % memerlukan waktu yang sangat
lama untuk mencapai kekeringan bahan dengan kadar air sekitar 38% yang selama
ini dikelola di tingkat petani. Pola
pengeringan yang umumnya dilakukan oleh para petani secara tradisional dan
sangat tergantung dengan keadaan alam.
Dalam proses bisnis
rumput laut kering sebagai bahan mentah selanjutnya di tangan para pedagang
pengumpul dan para pedagang besar hingga eksportir atau pabrikan, selama ini memerlukan waktu yang sangat
panjang dalam kondisi bahan mentah rumput laut dengan kadar air antara 35-38
%. Dalam ilmu pangan dan gizi yang
mempelajari tentang kerusakan bahan pangan, maka dapat dipahami, bahwa bahan
pangan yang berupa rumput laut pada kondisi tersebut akan mengalami kerusakan
selama kurun waktu tersebut. Inilah yang
terjadi dalam bisnis rumput laut kita selama ini.
Kesalahan besar ini
terjadi akibat pembiaran terhadap penanganan bahan pangan dengan kandungan gizi
yang tinggi pada kondisi yang menyebabkan perubahan enzimatis yang berlangsung sangat
lama. Waktu yang sangat lama, yaitu
antara 48 sampai dengan 107 hari, itu sangat
memungkinkan terjadinya perubahan enzimatis yang berakibat pada susutnya jumlah
dan mutu karaginan di dalam rumput laut. Dari pengamatan, data dan referensi selama ini
dapat disusun perkembangan tahapan dan lamanya proses kekeringan rumput laut dari
petani hingga diolah di dalam pabrik sebagai berikut :
1.
Di tingkat
Petani selama 10 – 15 hari dengan kisaran kadar air bahan rumput laut dari
basah dengan kadar 80 - 92,5 % selama 4 hari, 40 – 80 % selama 5 -10 hari dan
35 – 40 % selama 3 hari.
2.
Di tingkat
pedagang selama 8 – 22 hari, dengan kisaran kadar air 35 – 38 % selama 1-2
hari dan di kisaran kadar air 30 – 35 %
selama 7 – 20 hari.
3.
Di tingkat
eksportir hingga akan diproses di pabrik selama 30 – 70 hari dengan kondisi bahan rumput laut dengan
kadar air 30 – 35 %.
Tiga tahapan itu seperti
yang tersaji ringkas pada tabel berikut ini :
Akibatnya, ada
kesenjangan yang sangat lebar antara kondisi yang selama ini berkembang di
lapangan (seperti di atas) jika dibandingkan dengan kondisi ideal yang seharusnya
dalam pengelolaan bahan pangan.
Pengelolaan yang ideal setelah bahan pangan itu dipanen dari lahan
budidaya adalah dilakukan penghentian atau minimalisasi proses enzimatis pada
bahan sehabis dipanen secepat-cepatnya.
Untuk bahan yang mengandung tepung seperti biji-bijian (padi, jagung,
kedelai dan lain-lain) paling aman disimpan dalam keadaan kering dengan kadar
air maksimal 14%. Kalau biji-bijian tadi
diharapkan untuk benih kembali maka dianjurkan untuk disimpan pada keadaan
lebih kering lagi yaitu pada kadar air 12%.
Rumput laut sebagai bahan
baku untuk produk-produk pangan, kesehatan, kosmetik maupun industri lainnya,
supaya awet dan tidak mengalami banyak kerusakan, maka idealnya juga harus
diperlakukan menurut kaidah dan ilmu tentang pengelolaan bahan pangan yang
baik. Maka jika diperbandingkan antara kondisi perlakuan konvensional dengan
kondisi yang ideal dalam pengelolaan rumput laut selama ini, maka sudah terjadi
kerusakan bahan pangan berupa chips atau keraginan sekitar 50% yang hilang dan
susut selama proses pengolahan. Dalam
proses pengolahan selama ini bahan rumput laut terekspos dengan kadar air
relatif tinggi (di atas 30 %) selama 48 sampai 107 hari, yang akhirnya
mengalami banyak kerusakan dan terbuang pada saat pencucian, ekstraksi dan
granulasi di dalam proses industri.
Dengan pola selama ini
ternyata hasil RLK kita hanya mampu menghasilkan rendemen Chips ATC sebanyak
30-34 % dari RLK atau 3-3,4 % dari RLB.
Sedangkan RC yang dihasilkan hanya sekitar 20–25 % dari berat RLK atau
2-2,5 % dari RLB. Coba bandingkan dengan
sistem ideal yang dilakukan dengan pola pengeringan cepat hingga kadar air 15 %
langsung dari rumput laut basah dengan pencucian alkali. Hasil RC yang
diperoleh sekitar 4,5 % dari RLB. Atau
kalau dalam bentuk Chips ATC sebanyak sekitar 6,8 %, sebagaimana data pada
tabel di bawah ini. Maka bisa dikatakan
ada sekitar 50% produk hilir terbuang karena kesalahan paradigma bisnis rumput
laut kita selama ini.
Kandungan keraginan
rumput laut Eucheuma cottonii atao Kappaphycus alvarezi
Kappaphycus merupakan
jenis rumput laut yang banyak dicari untuk kepentingan industri makanan, obat -
obatan dan kosmetika di dunia karena mengandung zat karaginan yang merupakan
bahan campuran (additives). Kadar karaginan
dalam setiap species Kappaphycus berkisar anatara 54%-73% sedangkan di
Indonesia berkisar antara 61,5% - 67,5%. (Nur Masita Amiluddin, 2007)
Kerusakan besar itu
terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :
1.
Kondisi
rumput laut berhenti proses asimilasinya setelah diangkat dari laut
2.
Kondisi
reaksi enzimatis aktif setelah rumput laut terhenti pertumbuhannya
3.
Terjadinya
proses fermentasi dan pembusukan yang menyebabkan panas, air dan CO2 dan
gas-gas hasil reaksi enzimatis lainnya seperti CH4, NH4 dan lain-lain.
4.
Kondisi
proses pengeringan yang lama dengan kadar air dan suhu tinggi yang merangsang
proses enzimatis lebih aktif.
5.
Degradasi
bahan rumput laut terjadi sangat lama dan tidak disadari dianggap suatu hal
yang biasa dan tidak berpengaruh apa-apa.
Akibatnya adalah :
1.
Terjadinya
penyusutan karena proses fermentasi bahan rumput laut selama proses pengeringan
yang sangat lama. Bahan yang terdapat di
dalam rumput laut terfermentasi menjadi bahan bentuk lain dan bentuk konversi
lainnya berupa energi panas, CO2 (atau bentuk gas lainnya) dan air.
2.
Terjadinya
material terfermentasi (fermented
material atau disingkat FerMat) yang terikut pada bentuk RLK.
3. Fermat yang
terkandung dalam RLK terbut akan tercuci dan terbuang dari proses pembuatan
Chips ATC dan hingga keraginan.
Untuk jelasnya bisa
dibandingkan 2 diagram berikut ini.
Sebelah kiri adalah proses konvensional yang selama ini dilakukan, dan
diagram sebelah kanan adalah konsep ideal yang memberi hasil maksimal.
Setiap tahun Indonesia
memproduksi hampir 5 juta ton rumput laut basah (RLB). Pada tahun 2014 nanti diharapkan Indonesia
mampu meningkatkan produksi dari budidaya rumput laut hingga 10 juta ton. Selama ini sebagian besar hasil (85 %) yang
dijual ke luar negeri adalah hanya berupa bahan mentah berupa rumput laut
kering (dried cottonii) disingkat RLK.
Hanya sekitar 15 % yang diolah lebih lanjut menjadi Chips ATC, Semi
Refined Carrageenan (SRC) dan Refined Carrageenan (RC). Jika keadaan ini tidak berubah, maka proyeksi
2014 dan seterusnya nanti ada produksi 10 juta ton RLB atau dikeringkan menjadi
1 juta ton RLK. Sebanyak 850 ribu ton
yang diekspor dan hanya 150 ribu ton yang diolah menjadi produk hilir tadi.
Dari 10 juta ton rumput
laut basah yang dipanen oleh seluruh petani rumput laut se Indonesia ini,
seandainya dikelola seluruhnya dengan sistem yang ideal maka akan diperoleh
nilai devisa sebagai berikut :
1.
Dalam bentuk
10 juta ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 10,5 trilyun
2.
Menjadi 1,2
juta ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 14,4 trilyun
3.
Atau 679.200
ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 40,752 trilyun
4.
Atau 459.000
ton Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 73,536 trilyun
Namun, seandainya dari 10
juta ton rumput laut basah yang dipanen oleh seluruh petani rumput laut se
Indonesia ini dikelola seluruhnya dengan sistem konvensional seperti selama
ini, maka akan diperoleh nilai devisa sebagai berikut :
1.
Dalam bentuk
10 juta ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 10,5 trilyun (sama)
2.
Menjadi 1
juta ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 12 trilyun (selisih 0,2 juta ton
RLK dengan nilai Rp 2,4 trilyun)
3.
Atau 315.000
ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 18,9 trilyun (selisih
364.200 ton ATC Chips atau senilai Rp 21,852 trilyun)
4.
Atau 236.000
ton Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 37,76 trilyun (selisih 223.600
ton RC atau senilai Rp 36,296 trilyun).
Selengkapnya bisa dilihat
pada data tabel perbandingan berikut ini :
Kalau untuk skala
Kabupaten Nunukan yang sekarang ini data hasil produksi adalah sekitar 1000 ton
RLK atau beasal dari 10.000 ton RLB per bulan.
Maka jika disusun perbandingan seperti tabel di atas adalah sebagai berikut
:
Maka jika dihitung dari
10.000 ton rumput laut basah yang dipanen setiap bulan oleh seluruh petani
rumput laut se Kabupaten Nunukan ini, jika dikelola seluruhnya dengan sistem
yang ideal maka akan diperoleh nilai devisa sebagai berikut :
1.
Dalam bentuk
10.000 ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 10,5 milyar
2.
Menjadi 1.200
ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 14,4 milyar
3.
Atau 679,2
ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 40,752 milyar
4.
Atau 459 ton
Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 73,536 milyar
Namun, seandainya dari
10.000 ton rumput laut basah setiap bulan yang dipanen oleh seluruh petani
rumput laut se Kabupaten Nunukan ini dikelola seluruhnya dengan sistem
konvensional seperti selama ini, maka akan diperoleh nilai devisa sebagai
berikut :
1.
Dalam bentuk
10.000 ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 10,5 milyar (sama)
2.
Menjadi 1.000
ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 12 milyar (selisih 200 ton RLK dengan
nilai Rp 2,4 milyar)
3.
Atau 315 ton
Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 18,9 milyar (selisih 364,2 ton
ATC Chips atau senilai Rp 21,852 milyar)
4.
Atau 236 ton
Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 37,76 milyar (selisih 223,6 ton RC
atau senilai Rp 36,296 milyar).
Maka jika dihitung dalam
setahun atau selama 12 bulan, maka selisih nilai proyeksi antara sistem ideal
dan konvensional selama ini adalah :
1.
Dalam bentuk
120.000 ton rumput laut basah (RLB) senilai Rp 126 milyar per tahun.
2.
Menjadi 12.000
ton rumput laut kering (RLK) senilai Rp 144 milyar (selisih 2400 ton RLK dengan
nilai Rp 28,8 milyar)
3.
Atau 3.780
ton Chips alkali rumput laut (ATC Chips) senilai Rp 226,8 milyar (selisih 4.370
ton ATC Chips atau senilai Rp 262,224 milyar)
4.
Atau 2.832 ton
Keraginan rumput laut murni (RC) senilai Rp 453,12 milyar (selisih 2.683 ton RC
atau senilai Rp 429,312 milyar).
Atau selengkapnya seperti
tersaji dalam tabel berikut ini.
Dari hitungan proyeksi
seperti di atas bisa dibayangkan besarnya nilai yang terbuang sia-sia karena
kesalahan paradigma dalam iklim bisnis rumput laut selama ini. Sungguh besar nilai tambahnya jika kita
melakukan sistem bisnis rumput laut dengan paradigma dengan dasar keilmuan yang benar. Ada tanda kesyukuran atas ni’mat Tuhan yang
telah dilimpahkan berupa produk rumput laut di negeri ini. Alam laut yang sedemikian bersahabat ini
rupanya telah menyediakan menghamparkan ni’mat yang lebih besar seandainya kita
bisa mensyukurinya dengan memperlakukan rumput laut ini dengan perlakuan
pengolahan dan penyimpanan yang benar.
Dan ilmu itu sudah pernah diberikan Tuhan melalui hamba-hambanya yang
berilmu pengetahuan tentang pengelolaan bahan pangan.
Fabiayi ‘alai Robbikuma
tukadziban....
Maka ni’mat Tuhan kamu
yang manakah yang kamu dustakan !??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar