SEPANJANG jalan menuju Desa Laguruda tampak sepi.
Aktifitas masyarakat mulai terlihat hidup ketika memasuki wilayah pantai
di desa ini, Rabu (22/5). Sekelompok ibu-ibu dibantu anak mereka yang
umumnya perempuan tampak tengah ”merakit” bibit rumput laut yang
diikatkan pada tali pelastik.
Pekerjaan itu dilakukan di bawah kolong rumah panggung–sekitar 50
meter dari bibir pantai. Sementara desiran ombak laut tak pernah
berhenti mengiringi tiupan angin sepoi-sepoi yang bersahabat di siang
yang cerah itu.
Usai menyelesaikan tugasnya, tak lama kemudian lilitan bibit rumput laut
itu dipikul dua pria kemudian dibawa ke laut untuk kemudian ”ditanam”
dengan cara dibentang di permukaan laut sekitar seratus meter dari
pantai.
Dari kejauhan tampak pelampung-pelampung dari botol berbahan pelastik mengapung diantara rumput laut yang sudah ditebar.
Menurut salah seorang petani rumput laut di Desa Lagaruda, Arsyad Duni
(39), bibit yang sudah ”ditanam” itu menunggu waktu empat puluh hari
untuk dipanen.
Dia mengaku sedikitnya ada tiga pengumpul di desa ini yang siap menadah
hasil panen mereka sebelum sampai ke investor. Dalam kondisi normal,
setahun petani bisa empat sampai lima kali panen.
Arsyad mengaku membeli bibit Rp 2500 per 1 kg. Namun harga itu impas
jika dijual basah perkilogram. Dia baru mendapat untung jika rumput laut
dijual dalam keadaan kering mencapai Rp 6.000 sampai Rp 7000
perkilogram.
”Dibanding menangkap ikan, keuntungan memang lebih besar di rumput laut.
Apalagi jika harga lagi membaik,” kata Arsyad yang mengaku sudah
delapan tahun bergelut sebagai petani rumput laut.
Lelaki itu kini menggantungkan hidup keluarganya pada ”emas hijau” ini
ketimbang menangkap ikan di laut lepas yang katanya cukup berisiko.
Soal penghasilan, Arsyad mengungkapkan rata-rata sekali panen rumput
laut dalam rentang 45 hari dia mengantongi keuntungan Rp 2.500.000.
Namun demikian tidak jarang petani juga kesulitan modal karena bantuan
yang mereka dapat sebagai konstribusi dinas kelautan setempat sebatas
penyuluhan teknis budi daya, bantuan tali dan para-para untuk menjemur
rumput laut.
”Padahal kami juga butuh modal untuk membeli bibit dan kebutuhan lain,” tuturnya.
Dalam 100 bentangan tali bibit yang ditebar bisa menghasilkan 400 kg
sampai 1 ton rumput laut. Sedangkan untuk menghasilkan rumput laut
kering berkualitas baik butuh 3 sampai 4 kali penjemuran diterik
matahari.
Umumnya rumput laut yang dikembangkan adalah jenis Lawi Lawi (Caulerpa sp) sebagai komoditas primadona baru masyarakat pesisir.
Lain lagi cerita Mirna (20) yang mewarisi pekerjaan orang tuanya sebagai
pengumpul rumput laut di Desa Lagaruda. Sejak SMP wanita desa ini sudah
membantu orang tuanya mulai dari mengikat bibit sampai menimbang rumput
laut hasil panen yang dibawa petani untuk dijual.
Tentu
saja bagi pengumpul tidak ada kamus rugi bagi mereka. Harga ditingkat
petani akan lebih mahal dibanding di tingkat pabrik (investor) yang
menadah hasil ”ijon” mereka. Apalagi jika mutu rumput laut dinilai
berkualitas maka pihak perusahaan akan memberi nilai lebih.
Di Takalar, baru ada satu perusahaan yang menampung rumput laut hasil
panen petani disana yakni PT Giwang. Namun menurut keterangan pihak
Dinas Kelautan & Perikanan Takalar, perusahaan ini tidak terlibat
langsung soal budidaya karena tidak mau menerima risiko. Pihak
perusahaan hanya bersedia membeli rumput laut berkualitas yang sudah
disortir atau dipilah. Karena itu baru 10 persen rumput laut yang
diserap oleh perusahaan ini dari jumlah produksi yang ada di Takalar,
padahal konstribusi rumput laut daerah ini untuk Provinsi Sulsel
terbesar ketiga di Indonesia.
Rumput laut lawi-lawi menjadi menu sehari-hari warga di sini sebagai
pengganti sayur dan dikomsumsi dalam kondisi segar bersama nasi dan
ikan. Kini, lawi-lawi berpeluang untuk diekspor ke Korea dan Jepang,
sebab mengandung jelly dan konon berkhasiat sebagai anti jamur, anti
tumor, dan rematik atau bahan dasar kosmetik.
Karena rumput laut telah menjadi trend ekonomi penghasil vulus yang
lumayan, warga di pesisir mulai mematok laut sebagai lahan pertanian
mereka. Namun, di Desa Laguruda petani membentuk kelompok sampai 10
orang sehingga dengan berjibaku menanam rumput laut, mereka bisa
menikmati hasil panen yang lumayan banyak dengan ratusan sampai ribuan
bentangan tali bibit.
Takalar terbilang berhasil mengembangkan jenis rumput laut Lawi Lawi
(Caulerpa sp) sebagai komoditas primadona baru masyarakat pesisir.
Menurut Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Takalar, baru
14.128 hektar lahan yang dimanfaatkan petani rumput laut dari luas
potensi lahan mencapai 17.448 hektar. Dari lahan yang sudah digarap
petani baru menghasilkan 474.346 ton rumput laut basah per tahun.
Potensi itu tersebar di empat kecamatan yaitu Mangarabombang,
Mappakasunggu, Sandrobone, dan Galesong Utara. Sementara harga rumput
laut kering di petani cukup menggiurkan, Rp 7000 sampai Rp 9000 per
kilogram.
Namun demikian, dia mengakui kesejahteraan petani belum merata karena
mereka masih susah mendapatkan bantuan modal dan mereka masih tergantung
kepada pengijon.
Tampaknya, optimalisasi potensi kelautan dan perikanan Takalar khususnya
rumput laut perlu terus dikembangkan mengingat hingga sekarang baru
tergarap sekitar 70 persen dari seluruh potensi yang dimiliki.
Pengembanganya memang harus ditingkatkan dengan berbagai terobosan yang
mumpuni. Terutama dalam hal pendampingan kelembagaan petani/nelayan,
agar mereka memiliki kemampuan untuk dapat berkembang menjadi
profesional.
Potensi wilayah Kabupaten Takalar tidaklah sedikit, ambil contoh seperti
pesisir Sanrobone dan Mangarabombang yang bukan hanya diusahakan oleh
para nelayan tradisional untuk penangkapan ikan. Akan tetapi juga
menjadi lirikkan investor karena rumput lautnya yang cukup terkenal dan
pantainya yang indah.
Dari data yang ada, pendapatan asli daerah (PAD) terbesar di Takalar
salah satunya bersumber dari pengelolaan komoditas rumput laut yang
dilakukan masyarakat pesisir.
Takalar memproduksi banyak sekali rumput laut dengan kualitas yang bagus
dan saat ini permintaan luar negeri melonjak terutama dari Korea.
Tidak heran kalau Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Nunukan,
Kalimantan Timur, memagangkan petani rumput laut di sentra budidaya
rumput laut Kabupaten Takalar, belum lama ini.
Pemagangan petani rumput laut tersebut bertujuan agar mereka memahami
proses pembudidayaan untuk meningkatkan produksi. Rumput Laut Takalar
memang jadi komoditas andalan Sulsel.
Apalagi, sentra budidaya rumput laut kabupaten ini dipilih karena sudah
terkenal sebagai pusat riset rumput laut terutama terkait budidaya yang
baik. Sedangkan secara skala nasional, rumput laut Takalar masuk yang
terbaik di Indonesia. Bibitnya pun sebagian didatangkan dari Bali.
Sebagai langkah awal dukungan terhadap peningkatan mutu produksi, DKP
Takalar telah membentuk program pendataan desa dan lurah yang berada di
pesisir pantai. Melalui program ini akan dilakukan perbaikan sistem dan
penataan daerah pesisir, mulai dari manajemen pengelolaan komoditas
hingga pembagian hasil ke pemerintah kabupaten.
Salah satu kabupaten yang berhasil mengembangkan rumput laut itu sebagai
komoditas andalan adalah Kabupaten Takalar. Berbeda dengan Kabupaten
Pangkep yang menggunakan metode apung, di Takalar budidaya rumput laut
dilakukan dengan metode lepas dasar karena memiliki pasang surut rendah.
Keberhasilan produksi rumput laut sangat ditentukan oleh pemilihan
bibit dan lokasi yang tepat untuk pertumbuhannya. Dengan masa tanam 45
hari, satu bentangan (tali) mampu memproduksi rata-rata 45 kg dengan
kisaran harga (kering) Rp 6000 – Rp 7000. Sehingga per bentangan, petani
rumput laut bisa memperoleh Rp 24.000 dari hasil panennya.
Ekonomi Biru
Tampaknya
sejalan dengan pendapat pakar Perikanan Universitas Hasanuddin, Prof Dr
Ir Yusran Nur Indar, M.Phil bahwa pemerintah Takalar harus terus
mendorong pengelolaan sumber daya alam kelautan khususnya komoditas
rumput laut yang berbasis masyarakat untuk pencapaian ekonomi biru.
Ekonomi Biru adalah ekonomi yang merupakan bisnis model yang memberikan
peluang untuk pengembangan investasi dan bisnis yang lebih menguntungkan
secara ekonomi dan lingkungan, namun langit dan laut tetap biru
Urgensi pendekatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan
berbasis masyarakat ini, akan mampu menjawab ketergantungan antara
ekonomi dan ekosistem.
Dengan mengimplementasikan hal itu di lapangan, maka yang diamanatkan
dalam pencapaian cita-cita ekonomi biru kelautan dan perikanan di
wilayah pesisir dapat tercapai.
Pengelolaan SDA perikanan yang berbasis masyarakat itu dengan
berorientasi konservasi maupun yang menekankan faktor sosial ekonomi,
dapat dilihat dari komunitas nelayan atau petani rumput laut yang
memerlukan wadah untuk mengorganisir mereka.
Jadi, sudah selayaknya pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis
masyarakat dan cita-cita pencapaian ekonomi bagi kesejahteraan
masyarakat pesisir Takalar harus didukung bersama.
Sudah saatnya pengelolaan rumput laut tidak hanya mengandalkan satu
investor seperti PT Giwang di Takalar, namun pemerintah seyogianya
mengembangkan industri pengolaan rumput laut ini secara lokal dan
nasional berbasis teknologi.
Kita optimis, pengembangan segmen ini akan berdampak pada harapan besar
sektor kelautan khususnya rumput laut di Takalar yang sangat potensial
dapat dikelola dengan baik dan memberikan multiefek yang positif bagi
ekonomi masyarakat Takalar dan Sulsel secara umum.
Disini diharapkan pemerintah kabupaten/kota dan provinsi dapat
bersinergi untuk mendorong dan mendukung pengelolaan sumber daya alam
kelautan yang berbasis masyarakat.
Seperti kisah warga Desa Lagaruda Kecamatan Sanrobone Takalar. Mereka
kini bergantung hidup pada rumput laut sebagai keunggulan pertanian
mereka yang memberi harapan cerah bagi masa depan.
Rumput laut menjadi berkah yang melimpah. Tapi, adakah mereka telah
menikmati sepenuhnya hasil jerih payah selama ini. Atau hasil peluh
mereka hanya lebih menguntungkan bagi pendapat asli daerah, pengijon
atau perusahaan ketimbang yang mereka dapatkan? Karena sampai kapanpun
petani disana tetap menggantungkan harapan pada rumput laut sebagai
sumber kehidupan hingga anak cucu.(*)
Sumber : http://suaratimur.com/?p=596