RUMPUT LAUT TAKALAR
KALAU MAU MAJU, HARUS PUNYA PABRIK OLAHAN SENDIRI
*OLEH USAMAH KADIR
RUMPUT Laut, Obyek Wisata dan Industri Kreatif, merupakan tiga potensi unggulan dari sekian banyak potensi Kabupaten Takalar yang diyakini Bupati Takalar Dr. H. Burhanuddin Baharuddin MSi – sejak awal memimpin daerah ini - sangat mungkin menyejahterakan rakyat. Karena itu, bupati mengajak seluruh aparatur Pemkab Takalar agar melakukan ikhtiar yang maksimal, kreatif dan melakukan inovasi untuk menggali potensi unggulan tersebut. “Rakyat sejahtera, pemerintah senang, insya Allah,” kata Bupati Burhanuddin Baharuddin.
Tentu saja, untuk mengembangkan potensi unggulan tersebut, diperlukan kerjasama dengan multipihak, terutama pihak investor, baik yang ada di daerah, maupun di luar daerah, bahkan investor di luar negeri sekali pun. Untuk itu langkah pertama yang perlu dilakukan ialah mengenalkan potensi-potensi unggulan tersebut kepada publik melalui media massa cetak, elektronik dan online.
Strategi yang dilakukan Pemkab Takalar bekerjasama dengan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Sulawesi Selatan, sangat tepat. Yakni; mengundang para jurnalis ke Takalar untuk melihat dari dekat potensi-potensi unggulan tersebut, dan
Sekda Takalar Ir. Nirwan Nasrullah MSi
kemudian menuliskan di masing-masing medianya.
“Dengan termuatnya potensi-potensi unggulan Takalar di masing-masing media para jurnalis, kami berharap adas investor, baik di dalam maupun di luar negeri tertarik bekerjasama dengan kami untuk menggarap potensi-potensi unggulan tersebut,” kata Sekretaris Daerah Kabupaten Takalar Ir. H. Nirwan Nasrullah Msi, ketika memberikan sambutan pada acara pembekalan peserta lomba karya jurnalis, di Kantor Bupati Takalar, Rabu, 22 Mei 2013.
‘Lomba Karya Jurnalistik’ tersebut merupakan hasil kesepakatan antara Pemkab Takalar dengan PWI Sulsel yang saling menguntungkan. Di satu sisi, keinginan Pemkab Takalar untuk mempromosikan potensi-potensi unggulan Takalar melalui tulisan para wartawan. Di sisi lain, PWI Sulsel memperoleh dukungan dari Pemkab Takalar untuk melaksanakan puncak acara Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2013 Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan di Kabupaten Takalar. Itu sebabnya, lomba penulisan ini bertema; “POTENSI UNGGULAN TAKALAR MENYEJAHTERAKAN RAKYAT”.
Model kerjasama seperti ini merupakan langkah konkret kemitraan antara pers dengan pemerintah. Bentuk kerjasama seperti ini perlu terus dikembangkan dengan pemerintah daerah lainnya demi kepentingan bangsa dan negara.
Rumput Laut Program Prioritas
Usai acara pembekalan hari itu, penulis berdiskusi sejenak dengan Sekda Takalar Ir. Nirwan Nasrullah MSi, di ruang kerjanya, mengenai prospek potensi unggulan Takalar. Dari diskusi singkat itu, Pak Sekda dan penulis sepaham bahwa pengembangan potensi Rumput Laut Takalar, harus menjadi program prioritas. Mengapa? Pertimbangannya antara lain: Pemerintah pusat sudah menetapkan Takalar sebagai salahsatu sentra produksi rumput laut nasional, dan sudah pernah berjanji akan mendorong investor asing untuk mengembangkan pabrik industri rumput laut di Indonesia.
Provinsi Sulawesi Selatan pun sudah menetapkan rumput laut menjadi salahsatu komoditas andalannya, dan menetapkan Takalar sebagai sentra produksi rumput laut di Sulawesi Selatan. Data tahun 2010 menunjukkan produksi rumput laut Sulsel sebesar 2,1 juta ton, berasal dari sebaran area yang terdapat di Takalar, Bantaeng, Barru, Palopo, Bone, dan Pangkep. Jenis rumput laut yang dibudidayakan ialah Eucheuma cottonii dan Gracilaria verucosa. Kontribusi rumput laut asal Sulsel (sebagian besar produk Takalar) terhadap produksi rumput laut nasional, mencapai 53,96%. Inilah yang mengantar Sulsel (Indonesia) menempati posisi kedua dunia setelah Chile.
Kabupaten Takalar secara nasional merupakan salahsatu kabupaten yang dinilai berhasil mengembangkan rumput laut. Takalar memiliki kelebihan dibandingkan dengan daerah lain yang juga membudidayakan rumput laut, karena Takalar memiliki pesisir laut yang cukup panjang, dan landai serta luas hingga ratusan meter dari bibir pantai. Laut Takalar memiliki pasang surut rendah, sehingga penanaman rumput laut di Takalar, cukup dilakukan dengan metode lepas dasar. Ini yang menjadikan Takalar sangat cocok untuk pengembangan budidaya rumput laut.
Jenis rumput laut Takalar termasuk yang berkualitas, karena kadar karaginannya yang tinggi, sementara permintaan rumput laut oleh pasar dunia masih jauh lebih besar dari pada ketersediaan stok.
Harga rumput laut di tingkat petani tetap konstan, karena apabila terjadi fluktuasi harga di pasaran bebas, Pemkab Takalar mampu menetapkan harga normal sehingga petani tetap bekerja dengan tenang.
Area tanaman rumput laut untuk sementara – tidak perlu dibeli, sehingga petani belum memerlukan modal besar untuk membudidayakan tanaman ini. Dikatakan sementara, karena sudah terlihat adanya upaya para petani rumput laut mengkapling area garapannya, yang sewaktu-waktu dijual atau dipersewakan kepada pihak lain, pada saat mereka tiba-tiba membutuhkan uang. Bahkan, area tanaman rumput laut, sudah disamakan nilai ekonomisnya dengan nilai ekonomis sawah atau empang, dengan menjadikannya sebagai ‘passunrang’ atau mahar perkawinan.
Tidak sulit mengajak masyarakat untuk terjun dalam usaha budidaya rumput laut, karena teknisnya sederhana, sehingga mudah dipelajari oleh siapa pun. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, hasil budidaya rumput laut segera dapat dinikmati oleh masyarakat, terutama mereka yang terlibat langsung di dalamnya, sehingga otomatis mengurangi beban pemerintah dalam hal penyediaan lapangan kerja. Bahkan sebaliknya. Masyarakat petani rumput laut dapat berperan serta dalam pelaksanaan pembangunan karena sudah mampu membayar pajak dan retribusi. Contohnya: hanya bermodalkan satu bentangan (tali) saja, seorang penggarap mampu memproduksi rata-rata 45 kg. Jika patokan hargarumput laut (kering) Rp6.000 – Rp6.500 per bentangan, dia bisa memperoleh Rp24.000 sekali panen hanya dalam tempo 45 hari. Satu kelompok tani yang beranggotakan 10 orang bisa memiliki areal tanam 300 sampai 1000 bentangan. Artinya, hanya dalam waktu 45 hari 10 petani sudah memperoleh hasil sebesar Rp24.000.000,- Itulah, mengapa rumput laut Gracilaria kering, disebut komoditas yang menjanjikan.
Selain itu, Takalar bukan hanya pusat pembudidayaan rumput laut di Sulawesi Selatan, tapi juga berperan sebagai pusat pelatihan bagi petani rumput laut dari daerah lain. Kabupaten Nunukan, di antaranya, pernah memagangkan petani rumput lautnya untuk magang di Takalar.
***
Januari 2013 lalu, pemerintah pusat membuat program kerja peningkatan produktivitas rumput laut, dan menargetkan produksi rumput laut basah sebesar 10 juta ton pada tahun 2014. Sayangnya, target tinggi tersebut tidak dibarengi dengan penambahan jumlah pabrik olahan rumput laut. Data tahun 2012 menunjukkan, pabrik industri olahan rumput laut di dalam negeri hanya berjumlah 27 unit, yakni; mencakup produk lembaran (chip), semi pengolahan (semi-refine), karagenan, dan tepung agar.
Jana Tjahjana, anggota Tim Rumput Laut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pesimistis menanggapi rencana tersebut. “Target 10 juta ton tahun depan tersebut sulit terpenuhi karena pabrik olahan rumput laut dan penyerapan bahan baku industri pengolahan serta penyerapan pasar saat ini masih sangat minim,” katanya. ”Pemerintah harus realistis dalam menetapkan target. Tanpa jaminan pasar dan daya serap pabrik, produksi rumput laut justru akan hancur,” ujar Jana, dikutip Kompas, (25/2) lalu.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung di Jakarta, mengakui, hanya 20-25 persen produksi rumput laut yang diserap oleh industri olahan dalam negeri, karena industri kita belum siap menyerap bahan baku untuk diolah Sebagian besar rumput laut diekspor dalam bentuk kering. ”Jangan terlalu menjanjikan produk olahan kalau industri dalam negeri belum siap,” ujar Saut, entah kepada siapa ucapannya itu ditujukan.
Aneh tapi Nyata
Indonesia membutuhkan rumput laut hasil olahan sebagai bahan pembuatan kue, permen, makanan dan obat-obatan. Akan tetapi, walaupun Indonesia adalah negara produsen rumput laut kedua di dunia setelah Chile, namun karena keterbatasan pabrik industri pengolahan rumput laut di dalam negeri, membuat Indonesia ‘terpaksa’ bergantung pada impor produk olahan rumput laut. Bahkan, impor rumput laut tahun lalu tidak terkendali. Tahun 2011, impor karagenan mencapai 1.380 ton atau 70 persen dari total kebutuhan. Juga impor 800 ton tepung agar.
Menurut Saut, tahun ini impor produk olahan rumput laut akan dikendalikan, yakni maksimal 25 persen dari kebutuhan. Pertengahan 2012, impor karagenan sekitar 100 ton. Sementara itu, nilai ekspor rumput laut ditargetkan naik dari 200 juta dollar AS tahun 2011 menjadi 230 juta dollar AS tahun ini.
Harus Punya Sendiri
Mengamati permasalahan rumput laut secara nasional di atas, sudah saatnya Pemkab Takalar mencari solusi agar supaya Takalar memiliki pabrik olahan rumput laut sendiri. Nyaris tak ada gunanya berharap banyak pada pemerintah pusat. Buktinya, pemerintah pusat sendiri tidak mampu menambah pabrik olahan, padahal jelas-jelas bahwa pabrik olahan sangat dibutuhkan di dalam negeri.
Solusi dari problem tidak adanya pabrik olahan, mungkin dapat ditemukan melalui pendekatan sebagai berikut; Pemkab Takalar berinisiatif mengadakan pertemuan semacam; sarasehan, tudangsipulung, urunrembug, atau apa pun namanya. Undang Gubernur, Kadin, Apindo dan Perbankan dan atau para pihak yang berkepentingan dengan bisnis rumput laut. terkait. Pertemuan ini membahas prospek rumput laut ke depan, dan perlunya pengadaan pabrik olahan untuk meningkatkan kualitas produksi rumput laut untuk memperoleh harga yang jauh lebih tinggi, dari pada dijual dalam keadaan basah.
Ada tiga solusi yang bisa ditempuh untuk pengadaan pabrik olahan :
Pertama; pabrik olahan dapat dibeli secara patungan dengan melibatkan; pemprov, organisasi pengusaha, perbankan dan perorangan, melalui mekanisme kepemilikan saham dalam perusahaan. Atau, bentuk lainnya.
Kedua; pabrik bisa dibeli melalui pembentukan koperasi petani rumput laut. Hanya saja, cara ini mungkin memakan waktu lama, karena harus melibatkan masyarakat petani rumput laut sebagai anggota koperasi.
Ketiga; pembelian pabrik melalui sistem kredit perbankan.
***
Kamis siang itu, 29 Mei 2013. Saya menutup laptop setelah tulisan ini selesai., Sambil bersandar ke dinding sebuah pondokan tempat beristirahat yang ada di Pantai Topejawa, Saya menikmati hembusan angin laut yang terasa kencang. Riak-riak ombak bergulung-gulung kecil mengejar pantai. Meski merasa letih, namun Saya merasa puas karena masih dapat menyumbangkan pokok-pokok pikiran untuk daerah sendiri.
Tak jauh dari pondokku, Saya melihat dua anak lelaki sedang bermain-main saling lempar batok buah talak. Kedua anak itu bertelanjang dada. Hanya mengenakan celana pendek yang warnanya sudah tak jelas.
Rumah-rumah panggung yang berjejeran, bentuknya masih seperti dulu, sepuluh tahun yang lalu, ketika Saya ke pantai ini. Ah, Takalar, belum banyak berubah. Saya bergumam sendiri: “Kalau mau maju, Takalar harus punya pabrik olahan rumput laut sendiri. Takalar tidak boleh puas sebagai daerah penghasil rumput laut, tapi harus jadi daerah produsen rumput laut hasil olahan. Semoga!”
Topejawa, 29 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar