JEMUR RUMPUT LAUT : Seorang warga sedang menjemur rumput laut hasil panen di kawasan Grupuk, Loteng. (Suara NTB/Humas Setda NTB)
Rumput Laut Angkat Ekonomi Masyarakat Pesisir
Menurut Hasan, Petani Rumput Laut Dusun Grupuk, Lombok Tengah :
“Sekarang rumput laut sudah jadi roh perekonomian masyarakat di sini, tanpa rumput laut mungkin kami resah berkepanjangan”
Sedangkan menurut Amak Eko, Petani Rumput Laut Dusun Grupuk, Lombok Tengah, ‘’Kalau mengandalkan hidup dengan melaut seperti dulu, kain yang bisa saya belikan untuk istri, akan kami jual pada musim angin. Kalau sekarang, dengan rumput laut, penghasilan kami jauh lebih meningkat”
Banyak isu miring dan tudingan negatif yang beredar mengenai program bantuan pengembangan rumput laut yang disalurkan Pemprov NTB ke masyarakat pesisir. Ada yang menganggap salah kaprah, ada juga yang menuding sebagai bentuk pemborosan. Lantas, bagaimana fakta di lapangan, apa kata para penerima manfaat dari program pengembangan rumput laut ini?.
MENGANDALKAN kepulan asap dapur keluarga dari hasil tangkapan ikan di laut, apalagi dengan alat tangkap dan perahu mesin berukuran kecil, tidak ubahnya berharap agar air laut tanpa gelombang besar. Tidak bisa diprediksi, kapan angin dan arus akan datang mendorong ombak besar ke pantai.
Selain
hasil tangkapan yang hanya cukup untuk makan, musim juga memaksa para
nelayan memarkir perahu di bibir pantai. Sehingga disaat musim angin
barat, hamper seluruh aktifitas nelayan di laut terhenti. Kondisi ini
telah berlangsung lama secara turun temurun di Dusun Gerupuk, Lombok
Tengah. Sehingga sebagian besar warga masih hidup di bawah garis
kemiskinan.
Namun, kondisi ini kini mulai berbalik, laut tetap
menjadi tumpuan ekonomi masyarakat, tetapi tidak lagi mengandalkan ikan
terjaring di jala atau ujung pancing nelayan. Sejak pemerintah
memperkenalkan warga berbudidaya rumput laut, sebagian kehidupan warga
mulai berubah. Kondisi ini terus membaik sejak Pemprov NTB menggalakkan
budidaya rumput laut bagi masyarakat pesisir. Sejak program ini
digulirkan dengan memberikan warga bantuan perlengkapan dan modal usaha,
serta dilatih kemampuan teknis budidaya rumput laut, usaha budidaya
rumput laut di Dusun Gerupuk semakin berkembang.
Para nelayan di
Teluk Gerupuk mengakui, usaha budi daya rumput laut di kawasan itu sudah
cukup lama, apalagi telah ada instalasi Balai Budi Daya Laut Lombok,
salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Jenis rumput laut jenis Eucheuma cottoni yang dikembangkan di
Teluk Gerupuk itu awalnya didatangkan dari Maumere, Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT), pada 2006. Setelah dibekali pengetahuan teknis,
para nelayan di sana mulai menggeluti usaha budi daya rumput laut
itu.
Awalnya, hanya ada dua kelompok pembudidaya yang
beroperasi di Dusun Gerupuk. Usaha budi daya ini semakin menggeliat
ketika para nelayan mendapat dukungan paket bantuan pengembangan usaha
dari Pemerintah Provinsi NTB, berupa tali untuk "long line", dan
peralatan lainnya, serta bibit rumput laut. Bantuan modal usaha bergulir
itu nilainya sekitar Rp10 juta per paket, yang diberikan kepada
sedikitnya 20 orang nelayan dari berbagai kelompok usaha budi daya,
sejak 2010. Kini, jumlahnya sudah semakin bertambah setiap tahun.
Masing-masing kelompok beranggotakan 10-15 orang. "Sekarang rumput laut
sudah jadi roh perekonomian masyarakat di sini, tanpa rumput laut
mungkin kami resah berkepanjangan," ujar Hasan (34 tahun), selaku ketua
salah satu kelompok pembudidaya rumput laut saat diajak
berbincang-bincang soal budi daya rumput pekan lalu.
Tingginya
produktifitas dari aktifitas budidaya rumput laut ini juga didukung
kondisi perairan di Dusun Gerupuk yang berbentuk teluk. Sehingga budi
daya rumput laut di kawasan ini tidak mengenal musim, sepanjang tahun
bisa dilakukan. Dalam setahun, warga bisa enam kali panen. Mei hingga
Agustus merupakan waktu yang paling tepat untuk budi daya rumput laut.
Bulan lainnya juga dibolehkan namun hasilnya kurang memuaskan terkait
cuaca.
Terdapat sembilan kelompok nelayan yang bergelut pada budi
daya rumput laut jenis Eucheuma cottoni di Teluk Gerupuk. Kelompok
lainnya seperti Bangkit Bersama II dan Ingin Maju I. Setiap kelompok
memiliki 10-15 orang anggota nelayan. Setiap anggota kelompok nelayan
itu memiliki 1-5 area budi daya rumput laut yang dikenal dengan sebutan
"long line" atau area budi daya rumput laut yang ditandai dengan
bentangan tali dengan ukuran 50 x 50 meter.
Setiap "long line"
dapat menghasilkan 2,5 ton rumput laut basah, setelah dikeringkan
menghasilkan 375 kilogram, atau setiap satu kwintal (100 kilogram)
rumput laut basah yang dikeringkan akan menjadi 15 kilogram rumput laut
kering. Harga jualnya mencapai Rp1.000/kilogram rumput laut basah, dan
Rp5.000/kilogram rumput laut kering, sehingga omset yang dapat diraih
dari satu "long line" dapat mencapai Rp15 juta.
"Satu anggota
kelompok ada yang punya sampai lima long line sehingga bisa menghasilkan
uang banyak. Itu sebabnya, kami suka budi daya rumput laut," ujar Hasan
yang diamini Amaq Tari yang merupakan anggota Kelompok Nelayan Ingin
Maju I.
Pengakuan yang sama juga diungkapkan Amaq Eko, ketua
kelompok Nelayan Bangkit Bersama II mengenai aktifitas budidaya rumput
laut yang digeluti. Jika dibandingkan dengan aktifitas nelayan tangkap,
seperti pada tahun-tahun sebelumnya, hasil yang diperoleh jauh lebih
besar. ‘’Kalau mengandalkan hidup dengan melaut seperti dulu, kain yang
bisa saya belikan untuk istri, akan kami jual pada musim angin. Kalau
sekarang, dengan rumput laut, penghasilan kami jauh lebih meningkat,”
ungkap Amak Eko.
Wajar saja, jika para nelayan di teluk Gerupuk itu mulai berangan-angan hendak menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Bahkan, beberapa diantara mereka sudah mulai membidik universitas top di Pulau Jawa, meskipun anak-anak mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Apalagi, mereka juga menekuni aktivitas rutin yakni menangkap ikan di laut, dan usaha budi daya lobster, yang mampu menghasilkan jutaan rupiah setiap bulan.
Pengembangan agribisnis rumput laut merupakan
salah satu program unggulan yang dirangkai dengan program Bumi Sejuta
Sapi (BSS) dan pengembangan agribisnis jagung, yang dikenal dengan
sebutan Pijar (sapi, jagung dan rumput laut). Komoditas unggulan Pijar
ini diimplementasikan sejak 2009. Kegiatan prioritas dalam pengembangan
rumput laut antara lain pengembangan kawasan minapolitan baik di Pulau
Lombok maupun Sumbawa. ‘’NTB patut berbangga karena telah memulai
pengembangan kawasan minapolitan meskipun terbatas pada komoditas rumput
laut. Berbeda dengan daerah lainnya yang baru mencari kawasan
pengembangan minapolitan," kata Kepala Bappeda NTB Dr H Rosiady Sayuti.
NTB
menargetkan jumlah produksi rumput laut, 2013 mendatang bisa menembus
angka satu juta ton dengan kualitas standar ekspor. Kedepan, diharapkan
bisa dikembangkan industry olahan, dengan pembangunan pabrik karaginan.
Dari seluruh aktifitas budidaya dan industry rumput laut ini, diprediksi
bisa menyerap 149.140 orang naker dengan perputaran uang sekitar Rp3,35
triliun rupiah.
Daerah yang kini dipimpin Dr TGH M Zainul Majdi
yang tercatat sebagai Gubernur termuda di Indonesia ini, juga
mengembangkan program pengembangan bibit rumput laut berkualitas,
bantuan sarana untuk pengembangan rumput laut dan penanganan pascapanen,
serta progam pendukung lainnya. Teluk Gerupuk merupakan satu dari 10
kawasan minapolitan untuk komoditas rumput laut di NTB. Diantaranya di
Pengantap dengan potensi areal 600 hektare, yang sudah diberdayakan
kurang lebih 300 hektare. Sedangkan di Minapolitan Gerupuk, potensinya
kurang lebih 200 hektare. Ada juga sentra di Teluk Ekas Lombok Timur
dengan potensi 400 hektare, Teluk Sarewe dengan potensi 800 hektare . 60
persen diantaranya telah dimanfaatkan nelayan setempat.
Selanjutnya,
sentra minapolitan rumput laut di Teluk Awang Kabupaten Lombok Timur,
dengan potensi 400 hektare dan baru setengah yang diberdayakan.
Sementara sentra minapolitan rumput laut di Pulau Sumbawa berada di
Kertasari Kabupaten Sumbawa Barat dengan potensi 400 hektare dan 80
persen diantaranya sudah diberdayakan.
Sentra minapolitan rumput
laut di Kabupaten Sumbawa terletak di Labuhan Mapin dengan potensi 300
hektare namun baru 10 persen yang diberdayakan. Sentra minapolitan
rumput laut di Kecamatan Terano (Sumbawa) dengan potensi 2.000 hektare
namun baru 100 hektare yang diberdayakan. Demikian pula sentra
minapolitan rumput di Kuangko, Kabupaten Dompu yang potensinya mencapai
800 hektare namun baru 350 hektare yang diberdayakan. Sentra minapolitan
rumput laut di Waworada, Kabupaten Bima, potensinya mencapai 2.000
hektare namun pemanfaatannya baru 10 persen.
Versi Dinas Kelautan
dan Perikanan NTB, produksi rumput laut terus mengalami peningkatan
dari sebanyak 32 ribu ton lebih di tahun 2006 menjadi 36 ribu ton lebih
di tahun 2007 dan hampir 70 ribu ton di tahun 2008 dan 100 ribu ton di
tahun 2009 serta hampir 200 ribu ton di 2010, dan 400 ribu ton di akhir
2011. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB menargetkan produksi
rumput laut sebanyak 750.000 ton di akhir 2012, dan satu juta diakhir
2013. "Produktivitas itu masih bisa ditingkatkan lagi karena potensinya
dapat mencapai 23 ribu hektare yang menyebar di berbagai kabupaten, yang
sampai saat ini baru 6.700 hektare yang dimanfaatkan," ujar Ali.
Hanya
saja, pemerintah perlu menggandeng lembaga perbankan guna mendanai
pengembangan rumput laut di wilayah NTB, sekaligus membantu nelayan
mengelola keuangan mereka. Setidaknya, janji Direktorat Pemasaran dan
Pengolahan Hasil Kementerian Perikanan dan Kelautan bahwa akan terlibat
langsung dalam memfasilitasi keterlibatan lembaga perbankan dalam
pengembangan rumput laut di NTB, patut direalisasi.(tim)
Sumber Resmi : http://www.ntbprov.go.id/baca.php?berita=1541
Sumber link : http://rumputlautorganik.blogspot.com/2013/10/rumput-laut-angkat-ekonomi-masyarakat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar