Rabu, 19 November 2014

Berkunjung ke Petani Rumput Laut di Pulau Bum bum Sampoerna Sabah Malaysia

Pak Asep Ridwan alias Pak Hendra 
(yang semua foto dalam artikel ini berasal dsri beliau)

Pak Cik Wira bersama istri dan anaknya.
Sosok milyarder rumput laut dari Pulau Bum bum,  
Sampoerna,  Sabah, Malaysia

Pak Hendra bersama Pak Steven dan Timnya

Sosok rumput laut yang banyak berkembang 
di Sampoerna


Mencari terobosan ekspor yang lebih cepat dan menguntungkan dari Pelabuhan Tawau

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto,  M. Si.

Saya sangat salut dengan Pak Asep Ridwan, yang akrab dipanggil dengan Pak Hendra ini.  Beliau sangat mudah berbagi pengalaman, pengetahuan bahkan sangat terbuka jika ingin bekerjasama dengan beliau.  Pak Hendra sudah lama sekali berkecimpung di dunia rumput laut ini.  Bahkan hampir semua wilayah yang memiliki produk rumput laut di seluruh Indonesia ini pernah beliau kunjungi.  Sekarang ini banyak waktu Beliau tetcurah di Tarakan dan Nunukan, alasannya karena disini perlu peningkatan kualitas agar bisa bersaing dan bisa dijamin keberlanjutan usahanya di masa depan.   Soalnya produksi rumput laut dsri Nunukan dan Tarakan ini tidak pernah berhenti sepanjang tahun, dan sekarang sudah mencapai angka 3.500 ton per bulannya.

Minggu yang lalu Pak Hendra pergi melancong ke kawasan Sampoerna, tepatnya di Pulau Bum bum.  Menemui beberapa orang untuk menjajaki berbagai hal yang terkait dengan bisnis rumput laut.  Di kawasan ini, usaha rumput laut rupanya sudah sekitar 15 tahun berjalan.  Khususnya yang dikelola oleh Pak Cik Wira, warga tempatan di sana, yang hingga saat ini usaha itu berkembang semakin besar.

Pak Hendra memang agak lama berkunjung di tempat usahanya Pak Cik Wira ini.  Usaha farming rumpai laut, begitu disana orang menyebutkan rumput laut,  agak berbeda dengan yang dilakukan oleh para petani di Nunukan dan Indonesia pada umumnya.  Mungkin karena karakteristik wilayah perairan lautnya yang dangkal, terdapat banyak pulau-pulau kecil, perairannya yang jernih, dan di beberapa tempat juga ada dasar laut yang berkarang, serta arus laut atau gelombang yangbtidak terlalu kencang.

Oleh Pemerintah setempat Pak Cik Wira dan teman-temannya diberikan ijin penggunaan kawasan laut seluas 22.000 hektar.  Pak Cik Wira salah satu pemilik usaha farming rumput laut yang terbesar disana.  Beliau memulai nya sejak 15 tahun yang lalu, atau sekitar tahun 1999.  Beliau memulainya hanya dari 20 tali bentangan saja.  Usaha ini ditekuninya hingga sekarang beliau memiliki 3.000 tali bentangan yang sudah berproduksi setiap 40-50 hari sekali.  Selain itu, sekarang pun sudah siap 5.000 tali di gudang beliau yang sudah siap diturunkan ke laut.  Tidak lama lagi beliau akan memiliki 8.000 tali bentangan.  Luar biasa !!!











Ternyata tali bentangan yang dikelola Pak Wira tidak sama dengan model tali bentangan di Nunukan dan tempat lain di Indonesia.  Kalau di Nunukan, panjang tali bentangan hanya sekitar 22-25 meter.  Tetapi di kawasan Pulau Bum bum Sampoerna ini panjang setiap tali bentangan ada 200 meter.  Makanya tali ini tidak selalu diangkat ke daratan, tetapi selalu terikat di pancang-pancang di dasar perairan.  Mereka di kawasan ini menggunakan sistem budidaya tanam dasar.  Hampir sama seperti yang dilakukan oleh petani rumput laut di Nusa Lembongan Bali.

Dalam setiap tali yang panjang nya 200 meter itu diikati bibit rumput laut dengan jarak cincin atau titik sekitar 15 cm.  Jadi setiap tali itu ada sekitar 1.330 titik bibit yang terikat dengan tali rafia yang dililitkan di tali bentangan yang dipasangi botol-botol bekas sebagai pelampungnya.  Ukuran bibit lebih besar dibandingkan dengan bibit yang biasa dipasangkan di tali bentangan paranpetani di Nunukan dan Tarakan.  Mungkin sekitar antara 20 sampai 50 gram beratnya setiap bibit.  Kalau di Nunukan para petani menggunakan ukuran bibit hanya sekitar 10-15 gram per titik cincin bibit.  Di Sampoerna ini setiap titik bibit hanya dipasang 1 cincin saja.  Beda dengan di Nunukan dan Tarakan yang setiap titoknya dipasang 2-3 cincin bibit.

Milyarder dari Pulau Bum bum

Menurut cerita Pak Hendra,  rata-rata produksi rumput laut kering dari setiap tali bentang milik Pak Cik Wira ini sekitar antara 75-80 kg.  Maka dari 3.000 tali bentangan yang ada akan menghasilkan sekitaran 225 sampai 240 ton setiap 50 harinya.  Hasil yang sangat besar bagi Pak Cik Wira yang beristri perempuan keturnan Indonesia ini.  Kalau seandainya harga rumput laut itu hanya Rp 10.000 saja, maka pendapatan kotor Pak Cik Wira ini sudah sekitar Rp 2,25 Milyar sampai Rp 2,4 Molyar setiap 50 hari.   Sebulannya ya lebih dari Rp 1,2 Milyar.  Maka benar saja kalau beliau sekarang sudah layak disebut sebagai Milyarder dari Pulau Bum bum Sampoerna.

Pada setiap petak lahan 1 hektar dengan ukuran 50 x 200 meter persegi, terdapat sekitar 50 tali bentangan.  Hal ini karena jarak pemasangan antar tali bentangan ini adalah sekitar 1 meteran, dan hanya dipasang 1 tali saja, atau single. Tidak seperti di Nunukan, kebanyakan petani memasang 2 tali bentangan berdempetan dalam satu ikatannya.   Maka jika ada 50 tali bentangan dalam setiap petak perairan seluas 1 hektar, akan menghasilkan setiap musimnya sekitar 3,75 - 4,0 ton rumput laut kering per musim per hektar.   Ini angka produksi yang sangat bagus sekali.   Dari 3.000 tali bentangan Pak Cik Wira ini berarti perlu areal penanaman 60 hektaran.  Namun demikian dalam hal pengaturan petak-petak penanaman masih mempertimbangkan spasi-spasi kosong untuk arus lalu lintas panen, pemeliharaan dan transportasi laut lainnya.

Dalam mengelola usaha farming rumput lautnya Pak Cik Wira ini memiliki 3 unit rumah penjemuran dan gudang di atas laut, jauh dari pantai dan berada di tengah-tengah areal kawasan budidaya rumput laut.  Masing-masing berukuran sekitar 20 x 30 meter persegi, yang berfungsi untuk rumah pondokan pekerja,  tempat kerja pemasangan bibit, gudang dan sekaligus lantai penjemuran dan paska panen rumput laut.  Di setiap unit rumah dan lantai penjemuran itu selalu ramai setiap harinya dengan aktifitas-aktifitas  para ibu-ibu memasang bibit,  pengelolaan paska panen dan lain-lainnya.  Ada berpuluh-puluh orang yang beraktifitas setiap harinya.  Kebanyakan mereka adalah tenaga borongan untuk pasang bibit dan pemanenan.  Sedangkan Pak Cik Wira sendiri hanya memiliki tenaga tetap 7 orang saja.

Menurut penilaian Pak Hendra yang berkunjung kesana dengan Tim sebanyak 4 orang itu,  sistem kerja mereka sangat efisien.   Pola kerjanya sangat rapi dan teratur, mungkin karena tidak banyak orang pemiliknya, yang lain hanya pekerja.  Dalam hal pengelolaan mutu rumput lautnya juga sangat bagus,  mereka sangat menomorsatukan kualitas. Terlihat dari contoh hasil  rumput lautnya yang dibawa Pak Hendra sangat bagus.  Warnanya benih dan bersih, kekeringannya sangat rata sekitar 36-38 % kadar airnya.   Kandungan garam yang menempel juga sangat minim.  Kalau untuk ekspor sudah pasti langsung lolos.

Menjajagi ekspor rumput laut dari Pelabuhan Tawau

Karena itulah Pak Hendra dan timnya sekalian menjajagi peluang ekspor rumput laut dari Pelabuhan Tawau itu.  Kabarnya biaya pengiriman kontainer unyik ekspor ke China dan Philippina jauh lebih murah.  Ke China hanya sekitar  US$ 500,  atau sekitar Rp 6 juta per kontainer 20 feet, yang berisi 20 ton rumput laut kering yang sudah dipress.  Jadi biaya kirim dari Pelabuhan Tawau ke China hanya Rp 300 per kg.  Biaya yang sangat murah, setara dengan biaya-biaya lokal dari tempat petani sampai di Pelabuhan lokal di Nunukan.   Betapa murahnya biaya pengiriman ekspor ke China dsri Pelabuhan Tawau itu.

Kalau kita bandingkan dengan biaya pengiriman dari Pelabuhan Nunukan ke Makassar atau ke Pelabuhan Surabaya yang hampir mencapai Rp 1.000 per kg nya, bahkan bisa lebih besar lagi.  Hal ini tentu bisa menjadi suatu alternatif untuk melakukan ekspor rumput laut asal Nunukan bekerja sama dengan Eksportir rumput laut di Tawau.  Kalau perlu kita berkongsi membuat perusahaan eksport dengan warga Malaysia sana untuk sama-sama melakukan kerja sama ekspor bersama-sama.   Hal itu dimaksudkan agar biaya-biaya untuk ekspor bisa lebih murah,  dan agar bisa menjadi nilai tambah bagi harga pembelian di tingkat petani.   Meskipun sebenarnya kita kehilangan peluang pendapatan dari jasa trabsportasi dan pelabuhan lokal.

Beberapa hitungan perkiraan biaya dari Nunukan ke Pelabuhan ekspor di Tawau sekitar Rp 500 per kg nya.  Ada penghematan lumayan besar, yaitu sekitar Rp 500 - Rp 1.000 per kg.  Apalagi jika pengiriman dilakukan langsung dari laut ke laut, artinya tidak usah lagi hsrus naik ke daratan.   Karena tingkat kemahalan biaya bongkar muat inilah yang sangat besar, biasa membebani sistem perdagangan komoditi-komoditi wilayah kepulauan Indonesia ini.  Ini tentu sejalan dengan perkembangan terbaru, yaitu akan bergulirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN.... MEA.

Semoga.

(Sumber : Wawancara dsn diskusi dengan Pak Hendra lewat lisan dan bia WA)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar