Minggu, 01 Februari 2015

Mengapa Mengolah Rumput Laut Basah lebih menguntungkan?






Mengapa Mengolah Rumput Laut Basah lebih menguntungkan?

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto, MSi.

Dalam bisnis pengolahan rumput laut yang lazim selama ini, petani diberi tugas untuk membudidayakan rumput laut dan sekaligus mengeringkan hingga menjadi rumput laut kering (RLK) atau disebut sebagai dried seaweed.  Kalau rumput laut jenis cottoni maka hasil rumput laut keringnya disebut dried cottoni.  Sedangkan Pabrik atau Prosesor yang mengolah RLK yang berasal dari petani yang dikumpulkan oleh para Peluncur (Asisten Pengumpul), Pedagang Pengumpul hingga para Pedagang Besar dan para Eksportir.  Dalam hal seperti inilah yang terjadi selama ini, maka sistem ini kita sebut saja sebagai sistem pengolahan konvensional.

Sistem pengolahan pertama dari rumput laut basah (RLB) yang dipanen dari hasil budidaya dari laut ini kemudian dikeringkan secara sangat tradisional dengan dijemur di bawah sinar matahari langsung.  Praktis, jika terjadi hujan atau pun pada malam hari rumput laut yang dijemur ini akan ditutup dengan terpal ataupun yang lain.  Sistem pengeringan tradisional ini tentu saja akan menyebabkan mutu dari RLK menjadi kurang standar atau tidak seragam, karena apabila sering terjadi hujan, maka proses pengeringan ini akan memakan waktu yang lebih panjang.  Dengan proses pengeringan yang lebih lama maka rumput laut yang belum kering ini akan terus ditutup dengan terpal.  Penutupan yang lama tentu akan menimbulkan pengaruh terhadap mutu dan kandungan asli dari rumput laut, bahkan bisa merusak isi dari kandungan rumput laut.

Semakin lama proses pengeringan pada pola tradisional yang hanya mengandalkan matahari, maka akan semakin lama juga rumput laut yang masih ‘basah’ mengalami fermentasi dan juga pembusukan.   Pada proses fermentasi dan pembusukan itu materi rumput laut yang memiliki berat itu akan berubah karena faktor enzimatis yang masih aktif menjadi panas, CO2 dan H2O alias air.  Panas yang terjadi adalah energi yang dihasilkan pada saat proses fermentasi dan pembusukan.  CO2 atau gas Carbon Dioksida akan menguap begitu saja ke udara.  Sedangkan H2O atau air akan menguap dan kemudian mengkondensasi menjadi butir air dan membasahi permukaan luar rumput laut atau plastik terpal yang dijadikan penutup saat malam atau pada kondisi hujan.  Semua itu berakibat pada semakin susutnya berat materi rumput laut.

Konsep yang dikenal oleh petani adalah ‘penjemuran’ dan bukan konsep pengeringan.  Dengan demikian pada konsep penjemuran seolah sudah menjelaskan bahwa proses ini hanya mengandalkan matahari.  Maka jika matahari tidak terlihat karena ada hujan atau pada saat malam hari, rumput laut yang masih ‘basah’ ini akan terus menerus ditutup dengan plastik atau terpal.  Jika hujan terjadi sepanjang hari, maka praktis rumput laut yang masih ‘basah’ itu akan terus ditutupi plastik terpal.   Maka sepanjang waktu itu pulalah proses enzimatis dari rumput laut ‘basah’ tadi tetap berlangsung, apakah itu fermentasi atau kah pembusukan atau respirasi.

Seandainya konsepnya itu adalah ‘pengeringan’ maka harusnya pada saat malam hari atau pun ada hujan harus tetap menjalankan proses pengeringan, yaitu dengan cara memanfaatkan hembusan angin dari alam atau dari kipas dan blower,  memanfaatkan panas buatan dari api atau dari sumber listrik, dan lain-lain.

Rendemen adalah rasio atau perbandingan antara bahan hasil dibagi bahan asal dikalikan seratus persen.   Rendemen Rumput Laut Kering diperoleh dari berapa banyak bahan asalnya yaitu rumput laut basah yang dikeringkan.   Jika ada bahan rumput laut basah sebanyak 100 kg kemudian dikeringkan menjadi hingga kekeringannya standar, yaitu dengan kadar air 37 %, menghasilkan rumput laut kering 10 kg misalnya, maka menghitungnya adalah dari 10 kg dibagi 100 kg dikalikan 100% rendemennya adalah  10%.

Beberapa pengalaman penulis dan juga pengalaman para petani di Nunukan yang menggunakan konsep ‘penjemuran’ untuk mengurangi kadar air rumput laut menjadi layak untuk dijual, yaitu dengan kadar air mencapai sekitar 37%.  Kisaran rendemen bisa digolongkan menjadi 3, yaitu rendemen rendah dengan angka di bawah angka 9 %, rendemen sedang dengan angka antara 9 sampai 11 %, dan rendemen yang tinggi yaitu di atas 11 %.

Rendemen  dan masa pengeringan

Ternyata ada korelasi atau hubungan sebab dan akibat antara angka rendemen yang rendah dengan lamanya penjemuran rumput laut.   Pada penjemuran rumput laut yang mencapai hingga 12 hari baru kering, waktu itu rendemen sekitar 7,5 %dari rumput laut basah menjadi rumput laut kering dengan kadar air sekitar 37 %.  Waktu itu penulis membeli rumput laut basah sekitar 10 ton, setelah 12 hari baru kering karena hampir setiap hari waktu itu cuaca hujan dan mendung terus.  Setelah kering layak jual maka saat ditimbang hanya mencapai sekitar 750 kg.

Masa penjemuran yang terlalu lama, selain menyebabkan rendemennya turun drastis juga mengakibatkan kualitas rumput laut menurun dan bahkan mengalami kerusakan.  Ini bisa dicoba dengan cara sebagai berikut :  jika kita mengolah kembali RLK hasil pengeringan yang relatif lama tersebut dengan cara direndam lagi ke dalam air tawar maka terlihat permukaan rumput laut tersebut seperti diselimuti lapisan berlendir atau seperti tepung yang hancur sehingga air rendaman terlihat keruh.  Ini menandakan kalau rumput laut yang terlalu lama dijemur tadi mengalami kerusakan fisik dan biologis.  Inilah yang menyebabkan rendemen Chips ATCnya menjadi sangat rendah, maka akhirnya Pabrik juga bisa mem’blacklist’ pedagang atau tempat asal bahan baku RLK tadi dari mana dibeli.  Kalau mutu Chips ATCnya saja sudah rendah maka jangan harap rendemen tepung SRC maupun Rcnya bisa standar, pasti akan drop.  Ini tentu akan merugikan pihak pabrik.

Pengalaman yang dialami rata-rata petani dengan cuaca agak bagus, dengan masa penjemuran antara 5 sampai 7 hari, rendemen yang dicapai berkisar pada angka antara 9-10 %.   Petani rumput laut di Nunukan sudah mulai menerapkan sistem penjemuran dengan menggantung tali bentangan yang baru dipanen pada tiang-tiang jemuran.  Cara seperti ini ternyata bisa memperbaiki mutu dan rendemen rumput laut keringnya.  Pada saat cuaca normal maka biasanya petani perlu menggantungnya selama 2 (dua) hari.  Setelah mulai layu dan agak kering rumput laut dilepas dari tali dengan cara di’purut’.   Pelepasan rumput laut dari talinya biasanya dibantu dengan menggunakan alat purut dari balok kayu yang dilubangi dengan ukuran sekedar tali bentangan bisa masuk.  Dengan menarik tali yang berisi rumput laut tadi maka rumput laut akan tertahan dan terlepas pada lubang dibalik balok, maka rumput laut jatuh ke bawah lepas dari talinya.  Penarikan tali pada saat pemurutan ini terhenti jika sudah menemui botol pelampung yang juga diikat pada tali.  Suapaya tidak lepas tali botolnya maka botol diangkat sehingga botol pun aman saat melewati lubang pemurutan.

Setelah rumput laut ini terlepas dan terkumpul maka selanjutnya dilakukan penjemuran dengan meratakan tumpukan rumput laut ini serata dan setipis mungkin.  Semakin tipis dalam menyusun hamparan rumput laut di tempat penjemuran, maka diharapkan proses pengeringan bisa semakin cepat.  Sebaliknya jika semakin tebal maka proses pengeringan semakin lama dan proses pengeringan tidak merata.   Oleh karena itu perlu dilakukan pembalikan secara periodik sesering mungkin agar diperoleh kadar kekeringan yang merata.

Lazimnya proses pengeringan hamparan ini memerlukan waktu sekitar 3 (tiga) hari.  Sehingga jika dijumlah antara proses pelayuan dengan menggantung tali selama 2 (dua) hari, maka jumlah waktu yang diperlukan adalah selama 5 (lima) hari.  Jika cuaca agak mendung dan hujan maka jumlah harinya bisa mencapai 7 hari.  Ini termasuk kategori sedang, dengan hasil rendemen antara 9 – 11 %.

Untuk mencapai hasil rendemen yang tinggi, maka perlu konsep pengeringan cepat atau disebut sebagai Quick Drying.   Proses pengeringan cepat ini bisa dilakukan karena ingin diperoleh rendemen yang tinggi, mutu yang sesuai standar dan rumput laut terhindar dari kerusakan.  Semakin cepat kering berarti proses enzimatis yang mengakibatkan terjadinya proses fermentasi, pembusukan dan proses enzimatis lainnya bisa diminimalkan, sehingga kerusakan jaringan dan perubahan sifat bisa dihindari semiminal mungkin. 

Uji coba mengeringkan dengan jumlah agak sedikit dengan masa pengeringan antara 3 sampai 5 hari, rendemen yang dicapai berkisar antara 11-13 %.  Maka pengeringan cepat bisa dilakukan kurang dari 5 hari, bahkan kurang dari 3 hari.  Pada uji coba skala laboratorium sebenarnya bisa dilakukan pengeringan dari bahan asal RLB dengan sangat cepat atau Very Quick Drying dengan waktu sekitar 8 jam saja hingga menjadi RLK dengan kadar air 15 %.

Pada proses pengeringan rumput laut secara cepat dan sangat cepat akan melibatkan peran serta prinsip-prinsip teknologi pengeringan, yaitu antara lain :
1.    Adanya perlindungan dari terkena pengaruh dari luar seperti air hujan, kadar kelembaban udara sekitar.
2.    Adanya sumber energi yang mampu memberikan derajat panas tertentu untuk memanaskan bahan, media pengering dan udara.
3.    Adanya aliran udara dengan kecepatan dan massa tertentu.
4.    Adanya pengaturan luas bidang penguapan dengan pengaturan ketipisan bahan atau proses bolak-balik bahan.
5.    Adanya pengurangan kelembaban di sekitar bahan yang dikeringkan.
6.    Adanya masa atau waktu yang cukup untuk melaksanakan proses di atas.

Maka akhirnya penulis berani menyimpulkan :
1.    Semakin lama proses pengeringan rumput laut basah menjadi rumput laut kering, maka akan terjadi penyusutan berat semakin banyak.  Penyusutan rendemen itu terjadi karena terjadinya proses enzimatis karena fermentasi dan pembusukan dari rumput laut yang masih ‘basah’.
2.    Sebaliknya jika proses pengeringan bisa dilakukan lebih cepat maka rendemen akan semakin tinggi karena semakin minimalnya terjadi penyusutan.
3.    Maka perlu dilakukan perubahan pola pasca panen dari konsep ‘penjemuran’ menjadi konsep ‘pengeringan’ dengan menggunakan teknologi pengeringan yang sudah sangat lazim dilakukan pada produk-produk pertanian dan perikanan yang lain.
4.    Dengan konsep pengeringan yang tepat dan cepat, maka akan diperoleh nilai tambah yang sangat signifikan dalam meningkatkan kuantitas, kualitas dan pendapatan pada bisnis rumput laut secara keseluruhan.

Jika hal ini dihubungkan dengan analisa terhadap perbandingan bahan baku pabrik yang biasanya mengandalkan setoran dari RLK yang diproses oleh para petani yang dilakukan dengan sistem pengolahan Konvesional.   Terlihat sangat jelas perbedaannya dengan pengolahan yang dilakukan secara Ideal dalam suatu laboratorium sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini.





Gambaran dari Tabel di atas memang masih dapat diperdebatkan, hal ini karena perbandingan ini dilakukan atas hasil kajian yang berbeda waktu, ruang dan metode yang dilakukan.  Namun sengaja penulis menyajikan hal ini untuk menjadi kajian lebih lanjut dengan metode yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Sistem pengolahan konvensional yaitu yang sudah lazim terjadi selama ini, dimana RLB yang dipanen oleh petani kemudian dilakukan proses secara tradisonal yang tidak terstandar cara, alat serta prosedurnya, sehingga menghasilkan RLK dengan mutu yang sangat beragam.  Bahan RLK yang diperdagangkan hingga kemudian menjadi bahan baku pabrik pengolahan (Processor) diolah menjadi Chips ATC, Tepung ATC, SRC, RC dan Keraginan Kertas.   

Dari tabel yang disajikan diatas, diproyeksikan dengan bahan baku RLB sebanyak 1000 kg, maka pola konvensional ini akan diperoleh produk sebagai berikut, jika :
1.    RLK dengan kadar air sekitar 37% sebanyak 100 kg, dengan nilai sebesar Rp  1.200.000.
2.    Chips ATC dengan kadar air sekitar 15 % sebanyak 31,5  kg, dengan nilai sebesar : Rp 1.890.000.
3.    Refined Carageenan (RC) sebanyak 23,6 kg, dengan nilai sebesar Rp 4.720.000.

Pada suatu uji coba yang sangat ideal yang dilakukan di dalam laboratorium, dimulai dengan mengolah RLB yang segar berasal dari panen di laut.  Proses pengeringan sangat cepat dilakukan dengan bantuan oven dengan expose aliran panas konstan tertentu  yang sebelumnya juga melalui treatment larutan alkali.   Hasil yang diperoleh sangat mencengangkan, sebagai berikut :
1.    RLK dengan kadar air sekitar 37% sebanyak 120 kg, dengan nilai sebesar Rp  1.440.000.
2.    Chips ATC dengan kadar air sekitar 15 % sebanyak 67,92 kg, dengan nilai sebesar Rp   4.075.200.
3.    Refined Carageenan (RC) sebanyak 45,96 kg, dengan nilai sebesar Rp 9.192.000.

Dari angka di atas sudah menjelaskan kepada kita bahwa sangat penting dan strategis untuk  melakukan pengelolaan awal yang benar terhadap produk rumput laut ini, yaitu mengelola dengan benar dan cepat terhadap rumput laut basah (RLB) dengan sistem pengeringan yang cepat  menjadi rumput laut kering yang berkualitas prima.  Sebab dengan RLK yang berkualitas prima lah yang nanti akan menentukan nilai hasil baik dalam kuantitas maupun kualitas produk-produk hilir rumput laut selanjutnya. 

Ternyata pola konvensional ini harus segera diperbaiki agar mampu memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap hasil rumput laut kering, chips ATC maupun hingga tepung Keraginannya.  Hal ini harus sangat diseriusi agar potensi kehilangan diperkecil, dan sebaliknya prospek nilai tambah ini dimaksimalkan untuk kemajuan, kemandirian, daya saing dan keberlanjutan usaha bisnis rumput laut ini di seluruh Indonesia.  Tentu saja wa bil khusus Kabupaten Nunukan, dimana penulis ada di dalamnya.

Bagaimana menurut Anda ???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar