Kamis, 27 November 2014

PRODUKSI RUMPUT LAUT DAN PEMASARANNYA DI INDONESIA


PRODUKSI RUMPUT LAUT DAN PEMASARANNYA
DI INDONESIA

Oleh
Achmad Zatnika dan Sri Istini1)

ABSTRAK

Sebagai negera kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000 km, Indonesia mempunyai potensi besar sebagai penghasil rumput laut. Beberapa jenis rumput laut bernilai ekonomis tersebar di perairan pantai Indonesia yaitu Eucheuma, Gelidium, Gracilaria, Gelidiella dan Hypnea. Dari data lima tahun terakhir produksi rumput laut Indonesia mencapai 7.600 ton per tahun dengan nilai Rp. 406 juta. Maluku adalah daerah produksi terbesar di Indonesia yaitu 78 % dari total produksi, akan tetapi ekspor terbesar justru melalui pelabuhan Ujung Pandang dan sedikit sekali yang melalui Ambon. 

Ekspor rumput laut pada tahun 1979 – 1984 rata-rata 1.950 ton per tahun dengan nilai US $ 258.000. Kualitas yang rendah serta rantai pemasaran yang panjang menyebabkan kuantitas dan kualitas produksi serta harga yang baik diperlukan usaha budidaya yang intensif. Disamping itu perlu dikembangkan industri pengolahan rumput laut dalam rangka meningkatakan nilai tambahnya.

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negera kepulauan yang terdiri dari lebih 13.600 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Kondisi perairan Indonesia yang luas dan subur mencerminkan potensi hasil laut yang cukup tinggi. Salah satu komoditi sumberdaya laut yang ekonomis adalah rumput laut. Dari ratusan jenis rumput laut yang tersebar di perairan pantai Indonesia, terdapat 4 jenis bernilai ekonomis yaitu marga Gracilaria, Gelidium dan Gelidiellasebagai penghasil agar, dan marga Hypnea serta Eucheuma sebagai penghasil carrageenan.

Produksi rumput laut dalam 7 tahun terakhir menunjukkan kenaikan dari 4000 ton pada tahun 1977 menjadi 9600 ton pada tahun 1983, dimana pada tahun-tahun sebelumnya produksi rumput laut selalu menurun. Dari total produksi rumput laut di Indonesia sebagian besar dihasilkan di perairan Maluku dan Nusa Tenggara Timur. Walaupun perairan pantai Indonesia mempunyai potensi sebagai penghasil rumput laut, tetapi masih kalah jauh dengan produksi rumput laut dari Filipina. Hal ini disebabkan karena produksi rumput laut Indonesia selama ini masih tergantung dari hasil panen dari alam, sedangkan di Filipina sudah dibudayakan secara intensif. Usaha budidaya rumput laut di Indonesia baru dilakukan di beberapa daerah seperti Bali, Sulawesi Tenggara dan itupun masih terbatas pada jenis Eucheuma.

Rumput laut Indonesia sebagian besar diekspor dalam bentuk kering (raw material) dan sebagian lagi dikonsumsi untuk keperluan perusahaan agar-agar atau dikonsumsi langsung oleh masyarakat sebagai sayuran. Peningkatan produksi antara tahun 1979–1983 diikuti kenaikan jumlah ekspor, tetapi tidak diikuti oleh kenaikan harga di sentra produksi dan nilai ekspor masih sangat rendah dibandingkan dengan harga rumput laut di negara lain. Dalam hal ini faktor kualitas sangat menentukan, demikian juga rantai pemasaran yang terlalu panjang menyebabkan harga yang diterima pemetik sangat rendah.

2. METODA

Untuk memperoleh informasi tentang perkembangan rumput laut di Indonesia kami lakukan pendekatan melalui :
  • Pengumpulan data primer dan sekunder di daerah rumput laut seperti Ambon, Sulawesi selatan, Bali, Surabaya, Pameungpeuk Garut.
  • informasi diperoleh melalui wawancara dengan petani rumput laut, eksportir, Dinas Perikanan dan sumber lainnya.
  • studi literatur.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Produksi rumput laut di Indonesia

Produksi rumput laut di Indonesia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, mengingat terbatasnya penelitian ke arah itu. Walaupun demikian sebaran rumput laut di wilayah perairan pantai Indonesia yang dikemukakan Soegiarto et al. (1978) serta data produksi tahunan dari Dit Jen. Perikanan dapat dijadikan gambaran potensi produksi rumput laut di Indonesia. Daerah yang mempunyai potensi sebagai penghasil rumput laut bernilai ekonomis adalah perairan pantai Kepulauan Riau, pantai barat Sumatera, Bangka Belitung, perairan pantai sebelah barat dan selatan Jawa, bagian timur Madura, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur dan Maluku (gambar 1).

Produksi rumput laut di Indonesia pada tahun 1979 adalah 5945 ton dengan nilai 334 juta rupiah dan pada tahun 1983 sebesar 9607 ton dengan nilai 515 juta rupiah, atau rata-rata per tahuh sebesar 7600 ton dengan nilai 406 juta rupiah (table 1). Tujuh puluh delapan persen dari produksi rumput laut di Indonesia diperoleh dari Maluku, 9 % dari Bali dan NTT, 5% dari selatan Jawa dan sisanya tersebar di daerah lainnya (table 2). Dari tabel tersebut terlihat bahwa produksi rumput laut di Maluku pada tahun 1979 – 1983 adalah 5.920 ton per tahun jumlah tersebut lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu 2125 ton per tahun (Zoebir, 1980).

Suatu kenyataan bahwa produksi rumput laut di Indonesia masih terlalu kecil dibandingkan hasil dari Filipina pada periode yang sama (tabel 1 dan 3). Hal ini disebabkan produksi rumput laut Indonesia hampir seluruhnya berasal dari panen alamiah sedangkan di Filipina berasal dari usaha budidaya yang intensif. Produksi rumput laut yang tumbuh secara alami sangat tergantung pada keadaan substrat, kondisi perairan dan musim. Mubarak (1974) mengemukakan bahwa Eucheuma spinosum lebih baik tumbuh pada pasir bercampur karang mati dan produksinya lebih banyak pada saat setelah musim hujan. Produksi Eucheuma di perairan pantai Maluku dan Nusa Tenggara Timur yang tumbuh secara alami adalah 0.6 – 3.4 ton berat kering per ha.

Table 1 Produksi dan nilai rumput laut di Indonesia 1979 – 1983.
TAHUNVOLUME (TON).NILAI (RP.1.000)
19795.945334.000
19807.848421.000
19817.251362.000
19827.479398.000
19839.607515.000

Sumber : Dit Jen. Perikanan, Departemen Pertanian (1985).


Tabel 2 Produksi rumput laut dari beberapa daerah perairan pantai di Indonesia (1979 – 1983)

Perairan pantaiProduksi rumput laut (ton)
19791980198119821983
Barat Sumatera648662
Timur Sumatera39----
Selat Malaka251572-7-
Utara Sulawesi10811910512369
Selatan Sulawesi43678138280501
Selatan Jawa191486208407772
Bali / NTT4965504513151755
Maluku44183039634163416448
Total
59457848725174799607

Sumber : BPS.

Dewasa ini di perairan Lasori Sulawesi Tenggara telah dilakukan budidayaEucheuma dengan produksi 6 – 8 ton / ha. Di Bali dengan budidaya dicapai produksi 5 – 6 ton / ha. Dari hasil budidaya Bali dapat mensuplai Eucheumalebih dari 120 ton/bulan dari 22 ha areal budidaya. Apabila kita bandingkan dengan produksi hasil panen dari alam di Maluku dan Nusa Tenggara Timur yaitu 0.6 – 3.4 ton / ha, maka usaha budidaya meningkatkan produksi rumput laut Filipina melalui usaha budidaya yang intensif dapat meningkatkan produksi Eucheuma dari 398 ton per tahun pada tahun 1970 – 1973 menjadi 20.000 ton per tahun pada tahun 1978 – 1984 (Porse, 1985). 

Saat ini Filipina merupakan penghasil rumput laut Eucheuma terbesar yang dapat mensuplai kebutuhan dunia.
Selain Eucheuma, jenis lainnya yang bernilai ekonomis dan cukup potensial adalah Hypnea, Gracilaria, Gelidium dan Gelidiella. Data produksi dari ketiga jenis rumput laut tersebut tidak diperoleh dengan pasti dan pada data statistik berbaur dengan produksi Eucheuma. Di perairan Pulau Kefing Maluku Tengah, produksi Gracilaria adalah 1,28 ton/ha (Sumadiharga, 1978). Penelitian potensi produksi rumput laut di Indonesia masih sangat sedikit dan perlu penelitian lebih lanjut.

Apabila kita bandingkan produksi rumput laut dengan produksi komoditi perikanan lainnya, ternyata nilai rumput laut hanya 0.3 % - nya saja (tabel 4). Nilai yang kecil tersebut memerlukan perhatian yang besar, mengingat perairan Indonesia cukup potensial untuk budidaya rumput laut, prospek pemasarannya cukup baik. Masalahnya sekarang bagaimana caranya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksinya. Caranya yaitu mengadakan seleksi bibit yang unggul, mengembangkan budidaya dan memperbaiki cara penanganan lepas panennya.

Tabel 3. Produksi Eucheuma sp di Filipina
TAHUNPRODUKSI (TON)
197813.000
197914.000
198017.000
198118.000
198226.000
198326.000
198423.000


Sumber : Porse (1985).


Tabel 4. Nilai produksi rumput laut dan produksi perikanan laut lainnya (1977 – 1983)

TAHUNRUMPUT LAUT
(Rp. 1000,-)
PRODUKSI PERIKANAN LAUT LAINNYA
(Rp. 1000,-)
PERSENTASE RUMPUT LAUT
1977203.00051.884.0000.4
1978742.00066.207.0001.1
1979334.000105.664.0000.4
1980421.000121.374.0000.3
1981362.000136.073.0000.3
1982398.000132.284.0000.3
1983515.000179.772.0000.3

Sumber : Dit. Jen. Perikanan 1985

3.2. Pemasaran rumput laut di Indonesia

3.2.1. Ekspor rumput laut

Prospek usaha rumput laut di masa mendatang cukup baik dan memberikan harapan. Sebagai contoh, permintaan dunia terhadap Eucheuma dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Bahkan menurut Doty (1973) permintaan dunia untuk jenis Eucheuma di- taksir dapat mencapai 10 kali produksi alami. Tiga perusahaan industri carrageenan terbesar didunia (USA, Denmark dan Prancis) setiap tahunnya membutuhkan rumput laut sebanyak 20.000 ton sedangkan yang tersedia di pasaran dunia hanya 18.000 ton/tahun (BPEN, 1978). Kemudian Porse (1985) menunjukkan bahwa dewasa ini permintaan dunia untuk Eucheuma adalah 50.000 ton per tahun, sedangkan suplai hanya mencapai 44.000 ton per tahun, untuk memenuhi permintaan dunia masih diperlukan 6.000 ton per tahun. Dari sejumlah suplai Eucheuma, Indonesia hanya mensuplai 9 % - nya.

Ekspor rumput laut dari Indonesia pada tahun 1979 – 1984 rata-rata 1950 ton per tahun dengan nilai US $ 258.000. Volume ekspor tersebut dari tahun ke tahun selalu berubah-ubah. Pada tahun 1971 dan 1972 ekspor rumput laut dari Indonesia mencapai 3.700 ton, setelah itu menurun dan pada tahun 1980 hanya 596 ton ; akan tetapi pada tahun berikutnya meningkat lagi dan pada tahun 1984 mencapai 3.000 ton (Tabel 7).

Tabel 5. Estimasi produksi rumput laut di dunia (ton berat kering) sesuai dengan bahan koloid yang dihasilkannya.
DAERAH PRODUKSICARRAGEENAN & FULCELLARANAGARALGIN
19711975198019841975198019751980
Asia4.50030017.90028.0002.30018.0882004.570
Amerika Latin4.000-5.7206.0003009.99020012.800
Eropa?6.9008.400?2.3006.35010.70034.000
Amerika Utara6.0004.8007.0005.000100-6.70042.000
Negara lain5.500-1504.5003501.666-6.000

Sumber : Mc. Hugh D.J. and B.V. Lanier (1983)
Pores H. (1985)
Saleh S. (1985)


Tabel 6. Estimasi produksi olahan rumput laut di dunia serta bahan bakunya tahun 1980
Daerah produksiAgarRumput lautCarrageenanRumput lautAlginatRumput laut
Asia3.57418.08850017.9001.9504.570
Amerika Latin8579.990-55.72012.10012.800
Eropa1.9906.3507.9008.40012.82534.000
Amerika Utara200-4.5007.0006.70042.000
Lainnya4401.666-150-6.000
 7.06136.09412.90039.17021.57599.370

Tabel 7. Ekspor rumput laut 1979–1984
TAHUNVOLUMENILAI (US $)
19791.836.076170.132
1980596.629143.016
1981690.29161.302
19822.110.703166.201
19833.402.139346.619
19843.061.122658.842

Sumber : BPS

Harga ekspor rumput laut pada tahun 1983 dan 1984 dari data BPS adalah antara Rp. 100,- - Rp. 200,-/kg (tabel 6). Akan tetapi menurut keterangan eksportir di Ujung Pandang dan Surabaya harga ekspor rumput laut pada tahun 1983/1984 adalah US $ 450–500 per ton atau kurang lebih Rp. 450–Rp. 500, -/kg FOB. Porse (1985) menunjukkan bahwa harga rumput laut untuk carrageenan dari Indonesia adalah US $ 425 per ton FOB atau Rp. 425,-/kg. Kemudian informasi dari sentral produksi diperoleh bahwa harga lokal di Ambon, Sulawesi Tenggara dan Bali pada tahun yang sama berkisar antara Rp. 100,-s/d Rp. 250,-/kg. Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa data ekspor yang tercatat BPS tidak sesuai dengan kenyataan. Kemudian apabila kita bandingkan dengan harga rumput laut yang dibeli oleh eksportir dari pedagang / pengumpul rumput laut yaitu rata-rata Rp. 345, - maka nilai ekspor yaitu 43 % harga di dalam negeri. Dengan kata lain bahwa apabila kita memperhatikan informasi harga dari pedagang dan eksportir Indonesia, maka sebetulnya nilai ekspor dari Indonesia dua kali lebih besar dari nilai yang diperoleh dari BPS. Nilai ekspor ini dapat ditingkatkan lagi bila kualitas dan kuantitas produksi rumput laut ditingkatan lagi. Sebagai perbandingan harga rata-rata rumput laut dari berbagai negara dikemukakan pada Tabel 9.

Kurang lebih 80 % dari jumlah ekspor rumput laut pada tahun 1979 – 1983 berasal dari pelabuhan Ujung Pandang, dan hanya 2 % yang berasal pelabuhan Ambon, bahkan pada tahun 1981 dan 1982 tidak ada ekspor rumput laut dari Ambon (Tabel 8). Padahal 78 % dari produksi rumput laut di Indonesia berasal dari Maluku. Rendahnya ekspor dari Ambon pada tahun tersebut disebabkan eksportir di Ambon tidak bergairah lagi mengekspor rumput laut yang harganya terus menurun dan mereka lebih menyukai komoditi ekspor lainnya seperti rempah-rempah dan mutiara. Perwakilan eksportir di sentra produksi rumput laut akhirnya digantikan oleh para pengumpul yang mempunyai perahu motor. Mereka mengunjungi daerah produksi di pulau-pulau Maluku dan membawa dan menjualnya kepada eksportir di Ujung Pandang atau Surabaya.

Tabel 8. Ekspor rumput laut dari tiap pelabuhan (kg), 1979 – 1983
PELABUHAN19791980198119821983
Sumatera Barat30.00035.000---
Riau72.87020.900---
Tanjung Priok112.20084.18027.76070.7002.000
Surabaya62.047146.017102.86244.269236.315
Ujung Pandang1.503.253287.796552.2691.944.5312.595.433
Kendari----159.520
Belawan--7.400--
Kupang---51.203-
Ngurah Rai----30
Ambon55.90622.736--74.929
Waingapu----282.912
Total1.836.076596.629690.2912.110.7033.405.139


Tabel 9. Harga rata-rata rumput laut di beberapa negera.
JENIS RUMPUT LAUTNEGARATAHUNUS$/TON
1. Untuk industri agar:
- Gracilaria sp
Chili1978760
Jepang1979780
- Gelidium sp
 
Jepang19781.100
Chili19791.100
2. Untuk industri carrageenan :
- Eucheuma spinosum
Filipina19801.120
1981*385
1982380
1984*425
Chili1981*500
1984*460
Canada1981*570
1984*615
Indonesia1981*380
1984*425
- Eucheuma cottonii
Filipina1980560
1982310
3. Untuk industri alginat:
- Algae coklat
rata-rata1980250
- Laminaria
Inggris1979100
- Ascophyllum
Inggris1979100
- Devevilea
Chili1979230
- Sargassum
India1981130

Sumber : McHugh D.J. and B.V. Lanier (1983)
* Porse (1985)

Disatu pihak Indonesia cukup potensial sebagai penghasil rumput laut seperti agar-agar, algin dan carrageenan. Untuk mencukupi kebutuhan di dalam negeri Indonesia masih mengimpor agar, algin dan carrageenan dalam jumlah cukup besar. Pada tahun 1981 – 1984 Indonesia mengimpor agar senilai US $ 410.958 per tahun dan algin US $ 5.050.426 per tahun (tabel 9) belum termasuk carrageenan. Total agar dan algin rata-rata US $ 5.461.385 per tahun. Nilai agar dan algin tersebut hampir 30 kali nilai ekspor rumput laut pada periode yang sama. Di Indonesia terdapat beberapa perusahaan agar untuk bahan makanan baik skala “home industry” maupun semi tradisional. Industri agar-agar tersebut di Indonesia perlu ditingkatkan dan dikembangkan lagi mengingat potensi bahan bakunya cukup tersedia.

Apabila senyawa agar carrageenan dan alginat dapat diproduksi di dalam negeri, maka nilai impor dari jenis senyawa tersebut dapat menjadi investasi negara dan akan lebih menguntungkan lagi bila sanggup mengekspor hasil olahan dari rumput laut tersebut dan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat.

3.2.2. Tata niaga rumput laut.

Sampai saat ini pengelolaan rumput laut oleh nelayan merupakan usaha sambilan yang diperoleh dari hasil panen langsung dari alam. Usaha budidaya hanya berkembang di beberapa daerah saja seperti di perairan Bali sebelah tenggara yaitu di Nusa Dua, Serangan, Nusa Lembongan dan Nusa Penida, di perairan Sulawesi Tenggara seperti di Buton dan usaha budidaya tersebut baru untuk jenis Eucheuma saja. Sebagian besar hasil panen baik yang berasal dari alam maupun budidaya dijual untuk diekspor dan sebagian lagi untuk kebutuhan di dalam negeri sebagai pembuat agar-agar dan juga dikonsumsi sebagai sayuran oleh masyarakat pesisir.

Tabel 10. Impor agar-agar dan alginat 1980 – 1984
TahunAgar-agarAlginatTotal
Nilai (US$)
Volume (kg)Nilai (US$)Volume (kg)Nilai (US$)
1980159.349       ---
198143.372300.7104.639.5085.114.5985.415.308
1982261.947542.1932.938.3034.764.9685.307.161
1983350.111526.9573.717.9014.848.9975.375.954
1984162.885273.9733.653.3655.473.1425.747.115

Rantai pemasaran rumput laut mulai dari pemetik sampai eksportir di beberapa daerah pada umumnya sama. Nelayan atau petani rumput laut menjual rumput laut hasil panen dari alam atau budidaya kepada pedagang lokal (pedagang di kecamatan). Kemudian oleh pedagang lokal dijual kepada pedagang antar pulau yang kadang-kadang merupakan perwakilan eksportir yang ditempatkan di sentra-sentra produksi rumput laut. Pedagang antar pulau tersebut membawa rumput laut kering kepada eksportir di kota-kota pelabuhan seperti eksportir-eksportir di Ujung Pandang, Ambon, Surabaya, Denpasar, Jakarta dan di kota pelabuhan lainnya. 

Rantai pemasaran dari tiga sentra produksi pada tahun 1983 / 1984 dapat dilihat pada gambar 2.
Harga rumput laut masih ditentukan oleh eksportir karena rumput laut yang dibeli eksportir belum memenuhi standar ekspor. Demikian juga harga rumput laut masih dipengaruhi dan ditentukan para importir, karena sampai saat ini ada tiga importir besar di dunia yang menguasai pasaran yaitu Marine Colloids INc. dari USA Pierrefitte Auby dari Perancis dan The Copenhagen Pectin Factory dan Denmark. Ekspor rumput laut pada umumnya lewat agen-agen mereka di Singapura, sehingga memperpanjang lagi rantai pemasaran yang telah ada di Indonesia. Harga ekspor rumput laut dari Indonesia berkisar US $ 425 - US $ 500/ton FOB atau sekitar Rp. 425 - Rp. 500, - per kg. Harga yang dibeli eksportir dari pedagang Indonesia rata-rata Rp. 350,-/kg.

Dengan harga rata-rata Rp. 350,-/, eksportir masih harus melakukan penyortiran karena rumput laut masih tercampur dengan kotoran, pasir, jenis rumput laut lain, kayu, pecahan karang dan lain-lain. Karena harga masih ditentukan eksportir dan pedagang antar pulau yang membawa rumput laut dari sentra produksi harus mengeluarkan biaya transportasi, maka harga pada setiap pedagang lokal akan berbeda-beda tergantung dari jauh dekatnya sentra produksi atau sulit tidaknya dijangkau oleh pedagang antar pulau. Pedagang lokal yang jauh dan sulit dijangkau akan menerima harga rumput laut paling rendah, akibatnya harga yang diterima pemetik rumput laut lebih rendah lagi, seperti contohnya harga pada pemetik rumput laut di pulau-pulau Maluku. Contoh lain dari rantai pemasaran rumput laut penghasil agar di Pameungpeuk Garut yang cukup panjang (Gambar 3).

Gambar 1.
Gambar 1. Sebaran rumput laut bernilai ekonomis di Indonesia


USS 450 – 500/TON FOB
Gambar 2.


Gambar 2. Skema rantai pemasaran rumput laut Eucheuma sp (1983/1984)

Gambar 3.

Gambar 3. Skema pemasaran rumput laut penghasil agar dan hasil olahannya


Telah dikemukakan sebelumnya bahwa rumput laut untuk industri agar-agar lebih mahal dari pada jenis rumput laut untuk produksi carrageenan dan algin (table 8.) Akan tetapi panjangnya rantai pemasaran dan rendahnya kwalitas rumput laut yang dipanen akibat cara panen dan penanganan lepas panen yang kurang baik menyebabkan harga dari pemetik sangat rendah yaitu Rp. 100/kg pada tahun 1985. Pada setiap pengumpul dan penyalur selalu dilakukan penyortiran dan proses pencucian. Perbedaan harga antara yang dijual oleh penyalur tunggal di kecamatan dengan harga yang diterima pemetik cukup besar yaitu Rp. 1.400/kg.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kualitas rumput laut dan rantai pemasaran mempengaruhi harga yang diterima pemetik rumput laut. Harga rumput laut di sentra produksi dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kualitas dan atau memperpendek rantai pemasaran. Kualitas dapat ditingkatakan dengan melakukan usaha budidaya atau kultivasi dan penanganan lepas panen yang baik. Rantai pemasaran dapat diperpendek dengan mengikutsertakan atau melibatkan KUD yang berperan sebagai pengumpul sekaligus penyalur ke eksportir. Dan untuk mendorong usaha budidaya perlu adanya penyuluhan cara-cara budidaya rumput laut dan penanganan lepas panennya oleh tenaga penyuluh yang terampil, dan juga pemberian pinjaman modal oleh pemerintah kepada para petani rumput laut dengan bunga modal yang rendah.

Tabel 11. Syarat mutu komoditi rumput laut
Karakteristik    
EucheumaGelidiumGracilariaHypnea
- Kadar air makas (%)32152520
- Benda asing maks (%)5555
- Bauspesifikspesifikspesifikspesifik
rumput lautrumput lautrumput lautrumput laut

Keterangan : Benda asing: rumput laut lainnya, garam, pasir, karang dan kayu (ranting)
Sumber : Soegiarto. A dan Sulistijo (1985).

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Indonesia cukup potensial sebagai penghasil rumput laut. Sampai saat ini Indonesia mengekspor rumput laut dan sebaliknya masih mengimpor hasil olahannya a seperti agar, carrageenan dan algin. Nilai impor senyawa tersebut hampir 30 kali nilai ekspor rumput laut. Sudah saatnya Indonesia meningkatkan dan mengembangkan industri pengolahan rumput laut.

Kualitas rumput laut untuk diekspor masih rendah sehingga harga yang diterima pemetik sangat rendah. Untuk memenuhi syarat ekspor masih perlu dilakukan penyortiran oleh pedagang/penyalur dan eksportir. Kualitas yang rendah, rantai pemasaran yang panjang serta kesulitan sarana transportasi laut menyebabkan terdapat perbedaan harga yang cukup besar antara harga yang diterima pemetik dengan eksportir. Kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksidapat ditingkatkan melalui usaha budidaya rumput laut. Untuk hal terse but perlu adanya penyuluhan dan pendidikan ketrampilan bagi petani rumput laut baik teknik budidaya maupun penanganan pasca panen disertai penyediaan sarana transportasi dan pinjaman modal dari pemerintah. Rantai pemasaran dapat diperpendek dengan melibatkan KUD setempat sebagai penampung dan penyalur sekaligus pembina bagi petani pemetik rumput laut.

DAFTAR PUSTAKA

B.P.E.N. 1978. Rumput laut. Badan pengembangan Ekspor Nasional. Departemen Perdagangan dan Koperasi. 21 hlm.
Dit. Jen Perikanan 1985. Statistik Perikanan Indonesia 1983. Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian Jakarta. 97 hlm.
Doty, M.S. 1973. Farming the red seaweed, Eucheuma for carrageenans. Micronesica IX (1) : 59 - 73.
McHugh, D.J. and B.V. Lanier 1983. The World Seaweed Industry and Trade, South China Sea Fisheries Development and Coordinating Programme Food Agriculture Organization of the United Nation, Manila. ADB/FAO Market Studies Vol. 6 : 30 hlm.
Mubarak, H. 1974. Laporan Survey Eucheuma di Perairan Maluku dan Nusa Tenggara Timur, Juli - Nopember 1974. Laporan Penelitian Perikanan Laut I : 1 – 29.
Porse, H. 1985. Makalah Diskusi Panel Pengembangan Industri Pengolahan rumput laut di Indonesia Jakarta 26 Februari 1985.
Saleh, S. 1985. Kegunaan Rumput Laut dan aspek pemasarannya. Makalah pada Diskusi Panel Pengembangan Industri Pengolahan Rumput Laut di Indonesia, Jakarta 26 Februari 1985 : 15 hlm.
Soegiarto. A., Sulistijo, W.S. Atmadja, H. Mubarak 1978. Rumput Laut (algae) Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayannya. LON - LIPI Jakarta : 61 hlm.
Soegiarto, A dan Sulistijo. 1985. Produksi dan Budidaya Rumput Laut di Indonesia. Makalah pada Diskusi Panel Pengembangan Industri pengolahan rumput laut di Indonesia, Jakarta 26 Feb. 1985.
Sumadiharga. K. 1978. Prospek Budidaya Rumput Laut Eucheuma di Daerah Pulau Kefing dan Pulau Geser, Maluku Tengah. LPPL. Badan Litbang. Pertanian Departemen Pertanian : 28 hlm.
Zoebir. R. 1980 Pemasaran Rumput Laut di Maluku dan Peningkatannya pada masa yang akan datang. Dalam rangka Pekan Dagang Rumput Laut di Maluku. 25–27 September, di Ambon.

Sumber : http://www.fao.org/docrep/field/003/ab882e/AB882E15.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar