Selasa, 23 September 2014

Tumbuhkan Kembali Tulang dengan Ekstrak Rumput Laut

Tumbuhkan Kembali Tulang dengan Ekstrak Rumput Laut


Peneliti  Australia berhasil menggunakan rumput laut untuk menumbuhkan kembali tulang dan jaringan tubuh manusia dalam percobaan medis yang bisa mengarahkan pada pengobatan baru untuk sejumlah penyakit serius seperti kanker dan skizofrenia.
Tidak seperti tumbuhan lainnya, sel-sel rumput laut tidak memiliki jaringan pembuluh darah, meski demikian mereka menggunakan zat semacam gel untuk mengikat sel-sel tubuhnya agar tetap menyatu.
Gel unik dari sel rumput laut inilah yang kemudian dikembangkan di Institut Riset Intelegent Polymer Universitas Wollongong di New South Wales.
Direktur lembaga itu, Profesor Gordon Wallace, mengatakan timnya mencampurkan ekstrak rumput laut dengan sel induk manusia untuk digunakan bersama cetakan 3D yang rumit.
"Kami meneliti ekstrak dari rumput laut yang bisa membentuk komponen struktur dari bagian cetakan 3D yang kami gunakan untuk mempelajari regenerasi saraf, otot, tulang dan tulang rawan,"katanya.
"Jangkauan dan keragaman dari kimia yang tersedia dan dapat diekstraksi dari rumput laut memberikan kita sumber biomaterial yang tidak terbatas yang pada dasarnya bisa kita terapkan pada aplikasi seperti cetakan 3D.
"Saat ini kami masih pada tahap awal pencarian riset ini,”
Profesor Wallace dan timnya meyakini kalau gel unik rumput laut memiliki potensi tak terbatas untuk mengobati penyakit seperti arthritis, skizofrenia dan kanker.
Sejauh ini Profesor Wallace dan timnya telah berhasil menumbuhkan kembali tulang rawan penutup lutut dengan menyuntikan sel induk manusia dalam pasta gel.
Profesor Wallace mengatakan ekstrak dari rumput laut membantu peneliti membentuk sel induk menjadi struktur.
"Sel induk yang kita cetak menggunakan teknologi 3D, membutuhkan komponen untuk membungkus sel-sel dan untuk menyediakan penyatuan  mekanis,dan ekstrak rumput laut membantu kami melakukan itu,” tegas Wallace.
Australia punya ribuan varietas rumput laut
Pasar global rumput laut baik untuk makanan, obat-obatan dan pertanian saat ini bernilai sekitar  $6 miliar per tahun dan Australia memiliki ribuan varietas rumput laut khas Australia yang sampai saat ini belum banyak dipelajari.
Ahli kelautan, Dr Pia Winberg, mantan Direktur Institut Kelautan dan Air Tawar Shoalhaven di Universitas Wollongong, sekarang mendirikan salah satu pertanian rumput  laut komersial pertama di Australia.
"Sama seperti di darat dimana Australia memiliki pohon karet, kanguru dan banyak hal lainnya, di laut kita memiliki rumput laut yang cukup unik,” katanya.
Perusahaannya, Venus Shell Systems, mulai membudidayakan rumput laut di fasilitas uji coba bersama pabrik etanol Manildra di Bomaderry di New South Wales.

Industri budidaya rumput laut terus berkembang di Australia, perusahaan Bioteknologi di Hobart, Marionova mengatakan pembangunan  pertanian rumput laut Australia yang dijaga ketat kualitasnya sangat menguntungkan.
Perusahaan  ini sekarang mulai mengimpor sebagian besar rumput laut dari Argentina,Kanada dan Perancis untuk diproduksi ekstraknya untuk bahan baku industri obat dan nutraseikal.
Dr Winberg mengatakan Australia bisa menjadi pemain utama di pasar rumput laut dunia yang memproduksi obat-obatan , makanan, produk pertanian dan sistem pertanian baru.

"Kita bisa memperkenalkan beberapa rumput laut Australia yang unik dan molekul yang unik dari rumput laut kepada dunia yang benar-benar belum pernah dilihat sebelumnya, " kata Dr Winberg.

Sumber : http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2014-05-12/tumbuhkan-kembali-tulang-dengan-ekstrak-rumput-laut/1309314

Senin, 22 September 2014

Sertifikasi Persulit Ekspor Rumput Laut

Sertifikasi Persulit Ekspor Rumput Laut
Penerapan sertifikasi asal usul rumput laut yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dinilai semakin mempersulit birokrasi untuk ekspor produk rumput laut. Pasalnya, pengusaha harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk mengurus sertifikat.

Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) mengeluhkan penerapan Certificate of Legal Origin (CoLO), yakni sertifikat yang menjamin tentang asal usul rumput laut tersebut dari hasil budi daya atau panenan dari alam yang dikeluarkan oleh KKP.

Persyaratan ini mengakibatkan biaya ekspor yang semakin tinggi dengan panjangnya proses dari mulai perizinan sampai pada pengiriman rumput laut ke negara tujuan ekspor.

"Setiap proses perizinan membutuhkan biaya. Dengan adanya persayaratan tambahan CoLO ini semakin mempertinggi beban pengusaha rumput laut untuk melakukan ekspor ke negara tujuan," ujar Safari Azis, Ketua APLI, dalam siaran pers yang diterima, Jumat (16/3).

Selain menyulitkan dalam perizinan, biaya untuk mendapatkan CoLO dinilai tinggi jika dihitung berdasarkan jumlah volume barang mencapai Rp1-1,5 juta per kontainer. Jumlah ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan biaya Certificate of Origin (COO) yang dikeluarkan Kemendag atau Kadin yang hanya Rp200.000 untuk sekali pengiriman ekspor berapa pun jumlah kontainer yang dikirim.

Seharusnya, kata Safari, pemerintah Indonesia tidak mempersulit para eksportir Indonesia.

Ia menuturkan untuk mendapatkan CoLO eksportir diwajibkan memiliki tiga dokumen persyaratan antara lain Izin Usaha Perikanan (IUP), Health Certificate (HC), dan Surat Kelayakan Pengolahan (SKP). Banyaknya persyaratan ini, tambah Safari, dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mempersulit perizinan.

"Yang terjadi di lapangan dengan adanya permintaan CoLO dari negara tujuan seolah-olah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mengeluarkan perizinan untuk memperpanjang rantai birokrasi dengan biaya-biayanya," jelasnya.

Apalagi, terdapat tumpang tindih birokrasi untuk ekspor dan impor rumput laut antara KKP dan Kemenperin. Dicontohkannya, pengusaha pengolah ruumput laut yang sudah memiliki izin usaha perindustrian harus pula memiliki SKP yang diterbitkan KKP.

"SKP ini tumpang tindih dengan Izin Usaha Perindustrian yang telah dimiliki oleh prosesor. Sehingga penerbitan izin yang sama dari dua Kementerian yakni KKP dan Perindustrian membuat bingung para prosesor rumput laut," ujar Safari.

Karena itu, pihaknya mengusulkan pemerintah untuk mempertimbangkan agar SKP ini ditinjau atau dihapuskan sekaligus.

"Jika ada negara tujuan ekspor yang mempersyaratkan CoLO seperti Cile, pemerintah seyogianya membuat CoLO tersebut tanpa harus memperpanjang rentetan persyaratan lainnya," tukasnya.

Namun, yang terjadi kenyatannya justru sebaliknya. Pasalnya, hingga saat ini kewenangan penerbitan sertifikat CoLO belum diatur KKP dengan alasan akan segera didukung dengan penerbitan Peraturan Menteri KKP.

Untuk sementara, kewenangan penerbitan CoLO dibagi dua, yakni oleh Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) untuk produk olahan rumput laut yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia dan oleh Balai Karantina ikan produk rumput laut kering sebagai bahan baku.

"Jika pemerintah tidak siap, lebih baik CoLO tidak diberlakukan lagi karena asumsinya perizinan baru berarti biaya bertambah," pungkasnya (AI/OL-10)

Penulis : Ayomi Amindoni
Sumhttp://www.mediaindonesia.com

RI Cuma Kuasai 2,85% Pasar Rumput Laut Dunia


RI Cuma Kuasai 2,85% Pasar Rumput Laut Dunia


  • rumput-laut130415b.jpg

    Sebagai negara dengan wilayah perairan yang sangat luas, ekspor hasil laut Indonesia, khususnya komoditas rumput laut, ternyata baru mencapai 2,85% dari pangsa pasar dunia. Pada 2012, ekspor rumput laut kering Indonesia mencapai 169 ribu ton atau senilai, US$ 200 juta. 

    Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia, Safari Azis, mengatakan potensi rumput laut di pasar dunia masih sangat besar. "Nilai ekspor rumput laut dunia sebesar US$ 7 miliar," katanya dalam konferensi pers International Seaweed Symposium ke 21, di Jakarta, Senin (15/4/2013).

    Azis mengatakan, setidaknya terdapat dua penyebab yang membuat industri rumput laut kurang menarik. Kedua penyebab itu adalah tidak ada informasi yang cukup baik tentang potensi rumput laut sebagai tulang punggung pengembangan ekonomi, khususnya di daerah tertinggal. Persoalan kedua adalah masyarakat lebih tertarik mengembangan komoditas lain.

    Padahal, lanjut Azis, investasi yang dibutuhkan untuk industri rumput laut sebetulnya cukup kecil.

    Kurang diminatinya industri rumput laut juga terjadi akibat minimnya penelitian dan teknologi pengolahan. imbasnya, dari 550-an jenis rumput laut yang dimiliki, Indonesia baru bisa mengembangkan tiga jenis yaitu Gracilaria, Euchaeuma Cuttonii, Euchaeuma Spinosum yang sudah dipasarkan ke China, Eropa, dan Amerika.

    Sementara itu, Kepala Bidang Produksi dan Pemasaran Deputi Bidang Pembinaan Ekonomi dan Usaha, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Teuku Chaerul, menjelaskan hampir seluruh daerah Indonesia menyimpan potensi untuk dikembangkan menjadi industri rumput  laut. Komoditas ini diyakini dapat mendorong perekonomian di 33 daerah tertinggal. "Rumput laut sangat potensial,  karena 45 hari saja sudah bisa dipanen," kata dia (Est/Shd)

    Sumber : http://bisnis.liputan6.com/read/561751/ri-cuma-kuasai-285-pasar-rumput-laut-dunia

    Indonesia dan Filipina Kolaborasi untuk Kuasai Pasar Rumput Laut Dunia

    Indonesia dan Filipina Kolaborasi untuk Kuasai Pasar Rumput Laut Dunia

    Indonesia dan Filipina Kolaborasi untuk Kuasai Pasar Rumput Laut Dunia
    September 15
    12:142014
    JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Indonesia dan Filipina berkolaborasi untuk memenuhi kebutuhan rumput laut di pasaran dunia. Meski kedua negara ini semula bersaing.
    “Kita mulai melihat (persoalan ini) dengan perspektif baru. Pasar dunia untuk rumput laut sangat besar, sehingga kedua negara dapat bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia akan komoditi ini,” jelas ‎Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), seperti dikutip dari rilis Humas Kementerian Perdagangan, Senin (15/9/2014).
    Di bawah payung Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), kedua negara berjanji akan berkolaborasi untuk menjadikan ASEAN sebagai basis‎ produksi, dan memaksimalkan pemenuhan pasar rumput laut dunia.
    Kolaborasi ini diwujudkan melalui penandatangan memorandum of understanding‎ (MoU) oleh Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) dan Seaweed Industry Assosiation of the Phillipines (SIAP), sekaligus menjadi ‘win win situation’ bagi kedua negara yang semula bersaing.
    “ARLI dan SIAP sepakat untuk melakukan kerja sama dalam pengolahan dan pemasaran rumput laut sejumlah 50 ribu ton atau senilai US$50 juta. Indonesia saat ini mengekspor sekitar 180 ribu ton rumput laut atau senilai US$165 juta,” jelas Bayu.
    Sebagai penghasil dan eksportir rumput laut, Indonesia dan Filipina menjalin kerja sama dari hulu hingga hilir. Keduanya sepakat saling memperkuat pengembangan industri rumput laut, dimana SIAP berperan untuk memenuhi kebutuhan food grade seaweed, sementara Indonesia untuk mengembangkan rumput laut sebagai bahan baku biofuel. (pemi)
    Sumber :http://citraindonesia.com/indonesia-dan-filipina-kolaborasi-untuk-kuasai-pasar-rumput-laut-dunia/

    Senin, 15 September 2014

    Penyegaran Teknologi Pengolahan Rumput Laut di Nunukan

    Penyegaran Teknologi Pengolahan Rumput Laut bersama dengan Ibu Prof. Rosmawati Paranginangin dkk. dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan,  Kementerian Kelautan dan Perikanan Jakarta.

    Pelatihan ini dilaksanakan bertempat di Aula Gadis 1 Sedadap Nunukan Selatan.
    Waktu : selama 2 (dua) hari mulai tanggal 15-16 September 2014,   Jam 08.00 sampai dengan 16.00 wita.
    Peserta 25 orang, yang terdiri dari PPL Perikanan sebanyak 17 orang, dan 8 orang Penyuluh Swadaya bidang Pengolahan dan Pelaku usaha pengolahan di Nunukan.
























    Senin, 08 September 2014

    Produksi Rumput Laut Nunukan sudah lampaui 2.000 ton per bulan







    Produksi Rumput Laut Nunukan sudah lampaui 2.000 ton per bulan

    Sekarang ini ternyata produksi rumput Nunukan sudah melampaui angka 2.000 ton per bulan.
    Dari keterangan perwakilan Asosiasi Pedagang Rumput Laut Nunukan, ada sekitar 450 ton (5.000 karung) setiap minggunya yang diangkut menggunakan Kapal Thalia dari Pelabuhan Nunukan ke Parepare.  Artinya dalam sebulan berarti ada 1.800 ton ke Pasar/eksportir/pabrik di Makassar.

    Sedangkan rumput laut kering yang diangkut ke Surabaya terakhir sekitar 300 ton per 2 minggu atau 600 ton per bulannya.
    Kalau ke Makassar ada 1.800 ton ditambah yang ke Surabaya 600 ton, maka jumlahnya ada 2.400 ton per bulannya.

    Ini suatu angka yang sangat spektakuler....
    Jika harga Rp 10.000 per kg, maka nilai rumput laut yg ke Makassar dan Surabaya ada Rp 24 Milyard per bulan.

    Sangat fantastik !