Sabtu, 14 Desember 2013

Mie Rumput Laut berbahan tepung Mocaf khas Nunukan













Mie Rumput Laut dari Nunukan berbahan Rumput Laut, Tepung Mocaf dan Sedikit Tepung Terigu
Rasanya lebih kenyal dan lebih berisi serta terasa mengenyangkan, sehingga sangat dianjurkan sebagai makanan diet (dietary food).

Kandungan seratnya berasal dari rumput laut itu sendiri dan juga dari tepung mocaf.  Kandungan tepung mocaf sendiri sangat bagus untuk anak-anak penderita Autis yang dianjurkan untuk mengurangi bahan pengan berbahan terigu.  Mie rumput laut dari Nunukan ini sangat minim menggunakan tepung terigu.  Meskipun demikian rasa dan tekstur mienya hampir sama lezatnya dengan Mie produk terkenal yang sudah beredar luas.  Mie berbahan mocaf dan rumput laut jenis Eucheuma cottoni ini kehadirannya diprediksi akan mendapat sambutan masyarakat Indonesia bahkan dunia semakin besar di masa yang akan datang.

Bravo Mie Rumput Laut dari Nunukan!!

(By Sang Prov.  Dian Kusumanto Sang Presiden AREN Foundation)



Selasa, 10 Desember 2013

Mie Rumput Laut yang kaya serat dan mengandung Iodium tinggi dari Nunukan






Bahan-bahan :
1. Rumput Laut jenis Eucheuma cottonii
2. Tepung Mocaf (modified cassava fluor)
3. Tepung Terigu
4. Telor Ayam
5. Garam
6. Minyak Sayur

Produksi Koperasi Mamolo Sejahtera
Kelurahan Tanjung Harapan Kecamatan Nunukan Selatan
Kabupaten Nunukan

Jumat, 29 November 2013

PROSPEK BISNIS RUMPUT LAUT DI PULAU BANGKA



AWAL MENUJU KEMANDIRIAN RUMPUT LAUT PULAU BANGKA

Penulis : Ardiansyah Kurniawan (Dosen FPPB UBB) 
 
Propinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi yang tinggi untuk menghasilkan rumput laut. Hal ini dibuktikan dengan adanya potensi rumput laut alami yang masih melimpah. Lokasi perairan sebagai habitat rumput laut alami, dapat dipastikan merupakan lokasi yang sangat ideal untuk membudidayakan rumput laut. Namun proses pembudidayaan rumput laut di propinsi Kepulauan Bangka Belitung masih tersendat-sendat.

Rumput laut merupakan salah satu target pemerintah pusat dibidang perikanan dengan tonnage mencapai 10 juta ton pada tahun 2014. Target nasional ini dibebankan pada ke-33 propinsi se-Indonesia dengan tetap menyesuaikan kondisi perairan yang dimiliki propinsi-propinsi tersebut. Beberapa propinsi diantaranya Maluku, Maluku Utara, kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Propinsi di pulau jawa merupakan propinsi dengan potensi rumput laut yang tinggi.

Budi Daya Rumput Laut dengan Sistem Inti Plasma
 Langkah awal yang cukup menarik dilakukan pemerintah bersama perbankan dan pihak swasta untuk membudayakan budidaya rumput laut  pada masyarakat propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pihak perbankan dan swasta memberikan stimulan untuk memulai budidaya rumput laut dengan area yang cukup luas yaitu 1 hektar per kelompok. Dimana setiap kelompok terdiri atas 5 kepala keluarga. Beberapa kelompok ini diharapkan mampu mandiri dan mencapai hasil yang ditargetkan yaitu sebanyak 30 ton per hektar. Masa pemeliharaan yang cukup singkat yaitu 45 hari dan jenis Eucheuma cottonii strain jumbo yang mampu mencapai 2 kg per rumpun, menjadikan budidaya rumput laut potensial menjadi alternatif pasca penambangan timah.

Sistem inti plasma yang diberikan dapat menjamin seluruh hasil budidaya rumput laut dapat dipasarkan dan ditampung oleh perusahaan inti. Hal ini menghapus kegalauan petani – petani rumput laut sebelumnya yang mengalami kesulitan untuk memasarkan hasil pembudidayaannya setelah mencapai masa panen.

Penambangan Timah vs Pembudidayaan Rumput Laut
Masyarakat BangkaBelitungyang sejak lama terbuai potensi timah yang melimpah, sedikit demi sedikit mulai was-was akan semakin turunnya hasil penambangan timah mereka akibat jumlah timah yang semakin berkurang. Jika pendapatan menambang timah mulai menurun dari nilai yang diharapkan, ada baiknya memperhatikan potensi budidaya rumput laut berikut.
Dalam pembudidayaan rumput laut, modal awal hanya berupa tambang (tali), jangkar dan bibit rumput laut. Bibit tidak memerlukan pembelian lagi jika kondisinya masih sehat, sebab dari hasil panen, sebagian dapat digunakan sebagai bibit-bibit baru lagi untuk proses pembudidayaan berikutnya. Sehingga setelah modal awal terpenuhi, modal tambahan sangat minim dibutuhkan.Pemeliharaan rumput laut tidak membutuhkan pupuk, pakan dan lain-lainnya. Semua kebutuhan rumput laut disediakan oleh alam yaitu laut.Proses perawatan juga ringan, dengan dilakukan pembersihan disekitar pembudidayaan rumput laut untuk memaksimalkan pertumbuhan rumput laut.Lahan pembudidayaan rumput laut di kepulauan Bangka Belitung terbuka luas. Masih banyak lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut dan belum dimanfaatkan.

Dengan berbagai kemudahan pembudidayaan rumput laut, selanjutnya setiap hektar menghasilkan 30 ton rumput laut basah, dan jika setiap kg rumput laut basah bernilai   Rp. 1000,- (perkiraan harga minimal) maka setiap kelompok petani rumput laut menghasilkan 30 juta rupiah setiap 45 hari dibagi 5 anggota. Pendapatan akan semakin besar jika masing-masing anggota mampu memiliki sendiri area pembudidayaan rumput laut.

Permasalahan dan harapan kluster agribisnis rumput laut
Beberapa masalah yang ditemui pada bisnis rumput laut yang banyak di budidayakan di perairan pantai di Indonesia, secara garis besar ada di tingkat petani (on farm) dan di tingkat industri pengolahan (off farm).  Di Tingkat Petani terdapat permasalahan kurangnya pengetahuan budidaya yang baik, kurangnya ketersediaan bibit yang baik, sulit akses ke sumber modal, buruknya proses pengeringan dan pasar yang masih banyak bergantung pada pedagang pengumpul.

Permasalahan pada tingkat Industri Pengolahan adalah ketersediaan jumlah rumput laut kering sebagai bahanbakuproduksi yang sering tidak sesuai dengan kebutuhan, kualitas rumput laut kering yang sering kurang baik, kurang adanya dukungan yang baik dari pihak perbankan.

Harapan dilakukannya pengembangan agribisnis rumput laut dengan menggunakan model klaster bisnis adalah:
 Membangun agribisnis rumput laut yang tangguh yang pelaku utamanya adalah UKM.Memberikan nilai tambah ekonomis bagi komoditi rumput lautMenciptakan lapangan kerja bagi masyarakat terutama masyarakat pesisir.Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup nelayan/petani budidaya rumput laut serta masyarakat lainnya yang terlibat

 Merintis kluster Rumput Laut pada 2012?
Menilik permasalahan dan harapan dalam agribisnis rumput laut diatas, pembudidayaan rumput laut dalam jumlah besar-besaran di propinsi Kepulauan Bangka Belitung bukan tidak mungkin menimbulkan masalah.  Tonage rumput laut yang besar tidak dapat hanya mengandalkan perusahaan-perusahaan pengumpul dan perusahaan inti. Dominasi perusahaan pengumpul dapat menciptakan sebuah monopoli penampungan rumput laut hasil budidaya yang tentunya akan berefek pada penentuan harga jual rumput laut yang dikendalikan pengumpul. Maka ketika pembudidayaan rumput laut besar-besaran sebagai industri hulu mulai dirintis, maka perlu dirintis juga industri hilir.

Ketika industri hulu dan hilir terbentuk, maka terciptalah sebuah kulster rumput laut dimana dalam satu wilayah yaitu kepulauan Bangka Belitung dapat melepaskan ketergantungan pada industri lain untuk memaksimalkan potensi. Industri hulu berupa budidaya rumput laut menghasilkan rumput laut basah. Selanjutnya dibutuhkan industri hilir yang memanfaatkan hasil panen rumput laut, mulai dari pengeringan rumput laut dan pembuatan Semi Refine Karagenan  (SRC) yang dapat dilakukan dalam home industri dan menarik investasi untuk mendirikan perusahaan pemroduksi karagenan yang memanfaatkan bahan baku baik rumput laut segar dari pembudidaya maupun rumput laut kering dan SRC dari home industri atau UMKM-UMKM.

Pada tahun 2011, hasil panen budidaya rumput laut dari program inti plasma mulai melimpah. Tahun itulah saat yang tepat  untuk merintis industri hilir berbahanbakurumput laut sebagai rintisan bahkan awal berdirinya kluster rumput laut di propinsi kepulauan Bangka Belitung. Perlu kerjasama antara pemerintah daerah melalui dinas perikanan dan kelautan baik propinsi Kepulauan Bangka Belitung maupun kota dan kabupaten di wilayah propinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan pihak akademisi serta investor bidang rumput laut untuk mengawali dan merintis industri hilir rumput laut guna menuju kluster rumput laut.


Sumber Website : http://ardiansyah.ubb.ac.id

Mengapa Mengolah Rumput Laut Basah lebih menguntungkan?






Mengapa Mengolah Rumput Laut Basah lebih menguntungkan?

Oleh : Ir. H. Dian Kusumanto

Dalam bisnis pengolahan rumput laut yang lazim selama ini, petani diberi tugas untuk membudidayakan rumput laut dan sekaligus mengeringkan hingga menjadi rumput laut kering (RLK) atau disebut sebagai dried seaweed.  Kalau rumput laut jenis cottoni maka hasil rumput laut keringnya disebut dried cottoni.  Sedangkan Pabrik atau Prosesor yang mengolah RLK yang berasal dari petani yang dikumpulkan oleh para Peluncur (Asisten Pengumpul), Pedagang Pengumpul hingga para Pedagang Besar dan para Eksportir.  Dalam hal seperti inilah yang terjadi selama ini, maka sistem ini kita sebut saja sebagai sistem pengolahan konvensional.

Sistem pengolahan pertama dari rumput laut basah (RLB) yang dipanen dari hasil budidaya dari laut ini kemudian dikeringkan secara sangat tradisional dengan dijemur di bawah sinar matahari langsung.  Praktis, jika terjadi hujan atau pun pada malam hari rumput laut yang dijemur ini akan ditutup dengan terpal ataupun yang lain.  Sistem pengeringan tradisional ini tentu saja akan menyebabkan mutu dari RLK menjadi kurang standar atau tidak seragam, karena apabila sering terjadi hujan, maka proses pengeringan ini akan memakan waktu yang lebih panjang.  Dengan proses pengeringan yang lebih lama maka rumput laut yang belum kering ini akan terus ditutup dengan terpal.  Penutupan yang lama tentu akan menimbulkan pengaruh terhadap mutu dan kandungan asli dari rumput laut, bahkan bisa merusak isi dari kandungan rumput laut.

Semakin lama proses pengeringan pada pola tradisional yang hanya mengandalkan matahari, maka akan semakin lama juga rumput laut yang masih ‘basah’ mengalami fermentasi dan juga pembusukan.   Pada proses fermentasi dan pembusukan itu materi rumput laut yang memiliki berat itu akan berubah karena faktor enzimatis yang masih aktif menjadi panas, CO2 dan H2O alias air.  Panas yang terjadi adalah energi yang dihasilkan pada saat proses fermentasi dan pembusukan.  CO2 atau gas Carbon Dioksida akan menguap begitu saja ke udara.  Sedangkan H2O atau air akan menguap dan kemudian mengkondensasi menjadi butir air dan membasahi permukaan luar rumput laut atau plastik terpal yang dijadikan penutup saat malam atau pada kondisi hujan.  Semua itu berakibat pada semakin susutnya berat materi rumput laut.

Konsep yang dikenal oleh petani adalah ‘penjemuran’ dan bukan konsep pengeringan.  Dengan demikian pada konsep penjemuran seolah sudah menjelaskan bahwa proses ini hanya mengandalkan matahari.  Maka jika matahari tidak terlihat karena ada hujan atau pada saat malam hari, rumput laut yang masih ‘basah’ ini akan terus menerus ditutup dengan plastik atau terpal.  Jika hujan terjadi sepanjang hari, maka praktis rumput laut yang masih ‘basah’ itu akan terus ditutupi plastik terpal.   Maka sepanjang waktu itu pulalah proses enzimatis dari rumput laut ‘basah’ tadi tetap berlangsung, apakah itu fermentasi atau kah pembusukan atau respirasi.

Seandainya konsepnya itu adalah ‘pengeringan’ maka harusnya pada saat malam hari atau pun ada hujan harus tetap menjalankan proses pengeringan, yaitu dengan cara memanfaatkan hembusan angin dari alam atau dari kipas dan blower,  memanfaatkan panas buatan dari api atau dari sumber listrik, dan lain-lain.

Rendemen adalah rasio atau perbandingan antara bahan hasil dibagi bahan asal dikalikan seratus persen.   Rendemen Rumput Laut Kering diperoleh dari berapa banyak bahan asalnya yaitu rumput laut basah yang dikeringkan.   Jika ada bahan rumput laut basah sebanyak 100 kg kemudian dikeringkan menjadi hingga kekeringannya standar, yaitu dengan kadar air 37 %, menghasilkan rumput laut kering 10 kg misalnya, maka menghitungnya adalah dari 10 kg dibagi 100 kg dikalikan 100% rendemennya adalah  10%.

Beberapa pengalaman penulis dan juga pengalaman para petani di Nunukan yang menggunakan konsep ‘penjemuran’ untuk mengurangi kadar air rumput laut menjadi layak untuk dijual, yaitu dengan kadar air mencapai sekitar 37%.  Kisaran rendemen bisa digolongkan menjadi 3, yaitu rendemen rendah dengan angka di bawah angka 9 %, rendemen sedang dengan angka antara 9 sampai 11 %, dan rendemen yang tinggi yaitu di atas 11 %.

Rendemen  dan masa pengeringan

Ternyata ada korelasi atau hubungan sebab dan akibat antara angka rendemen yang rendah dengan lamanya penjemuran rumput laut.   Pada penjemuran rumput laut yang mencapai hingga 12 hari baru kering, waktu itu rendemen sekitar 7,5 %dari rumput laut basah menjadi rumput laut kering dengan kadar air sekitar 37 %.  Waktu itu penulis membeli rumput laut basah sekitar 10 ton, setelah 12 hari baru kering karena hampir setiap hari waktu itu cuaca hujan dan mendung terus.  Setelah kering layak jual maka saat ditimbang hanya mencapai sekitar 750 kg.

Masa penjemuran yang terlalu lama, selain menyebabkan rendemennya turun drastis juga mengakibatkan kualitas rumput laut menurun dan bahkan mengalami kerusakan.  Ini bisa dicoba dengan cara sebagai berikut :  jika kita mengolah kembali RLK hasil pengeringan yang relatif lama tersebut dengan cara direndam lagi ke dalam air tawar maka terlihat permukaan rumput laut tersebut seperti diselimuti lapisan berlendir atau seperti tepung yang hancur sehingga air rendaman terlihat keruh.  Ini menandakan kalau rumput laut yang terlalu lama dijemur tadi mengalami kerusakan fisik dan biologis.  Inilah yang menyebabkan rendemen Chips ATCnya menjadi sangat rendah, maka akhirnya Pabrik juga bisa mem’blacklist’ pedagang atau tempat asal bahan baku RLK tadi dari mana dibeli.  Kalau mutu Chips ATCnya saja sudah rendah maka jangan harap rendemen tepung SRC maupun Rcnya bisa standar, pasti akan drop.  Ini tentu akan merugikan pihak pabrik.

Pengalaman yang dialami rata-rata petani dengan cuaca agak bagus, dengan masa penjemuran antara 5 sampai 7 hari, rendemen yang dicapai berkisar pada angka antara 9-10 %.   Petani rumput laut di Nunukan sudah mulai menerapkan sistem penjemuran dengan menggantung tali bentangan yang baru dipanen pada tiang-tiang jemuran.  Cara seperti ini ternyata bisa memperbaiki mutu dan rendemen rumput laut keringnya.  Pada saat cuaca normal maka biasanya petani perlu menggantungnya selama 2 (dua) hari.  Setelah mulai layu dan agak kering rumput laut dilepas dari tali dengan cara di’purut’.   Pelepasan rumput laut dari talinya biasanya dibantu dengan menggunakan alat purut dari balok kayu yang dilubangi dengan ukuran sekedar tali bentangan bisa masuk.  Dengan menarik tali yang berisi rumput laut tadi maka rumput laut akan tertahan dan terlepas pada lubang dibalik balok, maka rumput laut jatuh ke bawah lepas dari talinya.  Penarikan tali pada saat pemurutan ini terhenti jika sudah menemui botol pelampung yang juga diikat pada tali.  Suapaya tidak lepas tali botolnya maka botol diangkat sehingga botol pun aman saat melewati lubang pemurutan.

Setelah rumput laut ini terlepas dan terkumpul maka selanjutnya dilakukan penjemuran dengan meratakan tumpukan rumput laut ini serata dan setipis mungkin.  Semakin tipis dalam menyusun hamparan rumput laut di tempat penjemuran, maka diharapkan proses pengeringan bisa semakin cepat.  Sebaliknya jika semakin tebal maka proses pengeringan semakin lama dan proses pengeringan tidak merata.   Oleh karena itu perlu dilakukan pembalikan secara periodik sesering mungkin agar diperoleh kadar kekeringan yang merata.

Lazimnya proses pengeringan hamparan ini memerlukan waktu sekitar 3 (tiga) hari.  Sehingga jika dijumlah antara proses pelayuan dengan menggantung tali selama 2 (dua) hari, maka jumlah waktu yang diperlukan adalah selama 5 (lima) hari.  Jika cuaca agak mendung dan hujan maka jumlah harinya bisa mencapai 7 hari.  Ini termasuk kategori sedang, dengan hasil rendemen antara 9 – 11 %.

Untuk mencapai hasil rendemen yang tinggi, maka perlu konsep pengeringan cepat atau disebut sebagai Quick Drying.   Proses pengeringan cepat ini bisa dilakukan karena ingin diperoleh rendemen yang tinggi, mutu yang sesuai standar dan rumput laut terhindar dari kerusakan.  Semakin cepat kering berarti proses enzimatis yang mengakibatkan terjadinya proses fermentasi, pembusukan dan proses enzimatis lainnya bisa diminimalkan, sehingga kerusakan jaringan dan perubahan sifat bisa dihindari semiminal mungkin. 

Uji coba mengeringkan dengan jumlah agak sedikit dengan masa pengeringan antara 3 sampai 5 hari, rendemen yang dicapai berkisar antara 11-13 %.  Maka pengeringan cepat bisa dilakukan kurang dari 5 hari, bahkan kurang dari 3 hari.  Pada uji coba skala laboratorium sebenarnya bisa dilakukan pengeringan dari bahan asal RLB dengan sangat cepat atau Very Quick Drying dengan waktu sekitar 8 jam saja hingga menjadi RLK dengan kadar air 15 %.

Pada proses pengeringan rumput laut secara cepat dan sangat cepat akan melibatkan peran serta prinsip-prinsip teknologi pengeringan, yaitu antara lain :
1.    Adanya perlindungan dari terkena pengaruh dari luar seperti air hujan, kadar kelembaban udara sekitar.
2.    Adanya sumber energi yang mampu memberikan derajat panas tertentu untuk memanaskan bahan, media pengering dan udara.
3.    Adanya aliran udara dengan kecepatan dan massa tertentu.
4.    Adanya pengaturan luas bidang penguapan dengan pengaturan ketipisan bahan atau proses bolak-balik bahan.
5.    Adanya pengurangan kelembaban di sekitar bahan yang dikeringkan.
6.    Adanya masa atau waktu yang cukup untuk melaksanakan proses di atas.

Maka akhirnya penulis berani menyimpulkan :
1.    Semakin lama proses pengeringan rumput laut basah menjadi rumput laut kering, maka akan terjadi penyusutan berat semakin banyak.  Penyusutan rendemen itu terjadi karena terjadinya proses enzimatis karena fermentasi dan pembusukan dari rumput laut yang masih ‘basah’.
2.    Sebaliknya jika proses pengeringan bisa dilakukan lebih cepat maka rendemen akan semakin tinggi karena semakin minimalnya terjadi penyusutan.
3.    Maka perlu dilakukan perubahan pola pasca panen dari konsep ‘penjemuran’ menjadi konsep ‘pengeringan’ dengan menggunakan teknologi pengeringan yang sudah sangat lazim dilakukan pada produk-produk pertanian dan perikanan yang lain.
4.    Dengan konsep pengeringan yang tepat dan cepat, maka akan diperoleh nilai tambah yang sangat signifikan dalam meningkatkan kuantitas, kualitas dan pendapatan pada bisnis rumput laut secara keseluruhan.

Jika hal ini dihubungkan dengan analisa terhadap perbandingan bahan baku pabrik yang biasanya mengandalkan setoran dari RLK yang diproses oleh para petani yang dilakukan dengan sistem pengolahan Konvesional.   Terlihat sangat jelas perbedaannya dengan pengolahan yang dilakukan secara Ideal dalam suatu laboratorium sebagaimana disajikan dalam tabel berikut ini.


Gambaran dari Tabel di atas memang masih dapat diperdebatkan, hal ini karena perbandingan ini dilakukan atas hasil kajian yang berbeda waktu, ruang dan metode yang dilakukan.  Namun sengaja penulis menyajikan hal ini untuk menjadi kajian lebih lanjut dengan metode yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Sistem pengolahan konvensional yaitu yang sudah lazim terjadi selama ini, dimana RLB yang dipanen oleh petani kemudian dilakukan proses secara tradisonal yang tidak terstandar cara, alat serta prosedurnya, sehingga menghasilkan RLK dengan mutu yang sangat beragam.  Bahan RLK yang diperdagangkan hingga kemudian menjadi bahan baku pabrik pengolahan (Processor) diolah menjadi Chips ATC, Tepung ATC, SRC, RC dan Keraginan Kertas.   

Dari tabel yang disajikan diatas, diproyeksikan dengan bahan baku RLB sebanyak 1000 kg, maka pola konvensional ini akan diperoleh produk sebagai berikut, jika :
1.    RLK dengan kadar air sekitar 37% sebanyak 100 kg, dengan nilai sebesar Rp  1.200.000.
2.    Chips ATC dengan kadar air sekitar 15 % sebanyak 31,5  kg, dengan nilai sebesar : Rp 1.890.000.
3.    Refined Carageenan (RC) sebanyak 23,6 kg, dengan nilai sebesar Rp 4.720.000.

Pada suatu uji coba yang sangat ideal yang dilakukan di dalam laboratorium, dimulai dengan mengolah RLB yang segar berasal dari panen di laut.  Proses pengeringan sangat cepat dilakukan dengan bantuan oven dengan expose aliran panas konstan tertentu  yang sebelumnya juga melalui treatment larutan alkali.   Hasil yang diperoleh sangat mencengangkan, sebagai berikut :
1.    RLK dengan kadar air sekitar 37% sebanyak 120 kg, dengan nilai sebesar Rp  1.440.000.
2.    Chips ATC dengan kadar air sekitar 15 % sebanyak 67,92 kg, dengan nilai sebesar Rp   4.075.200.
3.    Refined Carageenan (RC) sebanyak 45,96 kg, dengan nilai sebesar Rp 9.192.000.

Dari angka di atas sudah menjelaskan kepada kita bahwa sangat penting dan strategis untuk  melakukan pengelolaan awal yang benar terhadap produk rumput laut ini, yaitu mengelola dengan benar dan cepat terhadap rumput laut basah (RLB) dengan sistem pengeringan yang cepat  menjadi rumput laut kering yang berkualitas prima.  Sebab dengan RLK yang berkualitas prima lah yang nanti akan menentukan nilai hasil baik dalam kuantitas maupun kualitas produk-produk hilir rumput laut selanjutnya. 

Ternyata pola konvensional ini harus segera diperbaiki agar mampu memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap hasil rumput laut kering, chips ATC maupun hingga tepung Keraginannya.  Hal ini harus sangat diseriusi agar potensi kehilangan diperkecil, dan sebaliknya prospek nilai tambah ini dimaksimalkan untuk kemajuan, kemandirian, daya saing dan keberlanjutan usaha bisnis rumput laut ini di seluruh Indonesia.  Tentu saja wa bil khusus Kabupaten Nunukan, dimana penulis ada di dalamnya.

Bagaimana menurut Anda???