Mengapa Mengolah Rumput
Laut Basah lebih menguntungkan?
Oleh : Ir. H. Dian
Kusumanto
Dalam bisnis pengolahan
rumput laut yang lazim selama ini, petani diberi tugas untuk membudidayakan
rumput laut dan sekaligus mengeringkan hingga menjadi rumput laut kering (RLK)
atau disebut sebagai dried seaweed. Kalau rumput laut jenis cottoni maka hasil
rumput laut keringnya disebut dried cottoni. Sedangkan Pabrik atau Prosesor yang mengolah
RLK yang berasal dari petani yang dikumpulkan oleh para Peluncur (Asisten
Pengumpul), Pedagang Pengumpul hingga para Pedagang Besar dan para
Eksportir. Dalam hal seperti inilah yang
terjadi selama ini, maka sistem ini kita sebut saja sebagai sistem pengolahan
konvensional.
Sistem pengolahan pertama
dari rumput laut basah (RLB) yang dipanen dari hasil budidaya dari laut ini
kemudian dikeringkan secara sangat tradisional dengan dijemur di bawah sinar
matahari langsung. Praktis, jika terjadi
hujan atau pun pada malam hari rumput laut yang dijemur ini akan ditutup dengan
terpal ataupun yang lain. Sistem
pengeringan tradisional ini tentu saja akan menyebabkan mutu dari RLK menjadi
kurang standar atau tidak seragam, karena apabila sering terjadi hujan, maka
proses pengeringan ini akan memakan waktu yang lebih panjang. Dengan proses pengeringan yang lebih lama
maka rumput laut yang belum kering ini akan terus ditutup dengan terpal. Penutupan yang lama tentu akan menimbulkan
pengaruh terhadap mutu dan kandungan asli dari rumput laut, bahkan bisa merusak
isi dari kandungan rumput laut.
Semakin lama proses
pengeringan pada pola tradisional yang hanya mengandalkan matahari, maka akan
semakin lama juga rumput laut yang masih ‘basah’ mengalami fermentasi dan juga
pembusukan. Pada proses fermentasi dan
pembusukan itu materi rumput laut yang memiliki berat itu akan berubah karena
faktor enzimatis yang masih aktif menjadi panas, CO2 dan H2O alias air. Panas yang terjadi adalah energi yang
dihasilkan pada saat proses fermentasi dan pembusukan. CO2 atau gas Carbon Dioksida akan menguap
begitu saja ke udara. Sedangkan H2O atau
air akan menguap dan kemudian mengkondensasi menjadi butir air dan membasahi
permukaan luar rumput laut atau plastik terpal yang dijadikan penutup saat
malam atau pada kondisi hujan. Semua itu
berakibat pada semakin susutnya berat materi rumput laut.
Konsep yang dikenal oleh
petani adalah ‘penjemuran’ dan bukan konsep pengeringan. Dengan demikian pada konsep penjemuran seolah
sudah menjelaskan bahwa proses ini hanya mengandalkan matahari. Maka jika matahari tidak terlihat karena ada
hujan atau pada saat malam hari, rumput laut yang masih ‘basah’ ini akan terus
menerus ditutup dengan plastik atau terpal.
Jika hujan terjadi sepanjang hari, maka praktis rumput laut yang masih
‘basah’ itu akan terus ditutupi plastik terpal. Maka sepanjang waktu itu pulalah proses
enzimatis dari rumput laut ‘basah’ tadi tetap berlangsung, apakah itu
fermentasi atau kah pembusukan atau respirasi.
Seandainya konsepnya itu
adalah ‘pengeringan’ maka harusnya pada saat malam hari atau pun ada hujan
harus tetap menjalankan proses pengeringan, yaitu dengan cara memanfaatkan
hembusan angin dari alam atau dari kipas dan blower, memanfaatkan panas buatan dari api atau dari
sumber listrik, dan lain-lain.
Rendemen adalah rasio
atau perbandingan antara bahan hasil dibagi bahan asal dikalikan seratus
persen. Rendemen Rumput Laut Kering
diperoleh dari berapa banyak bahan asalnya yaitu rumput laut basah yang
dikeringkan. Jika ada bahan rumput laut
basah sebanyak 100 kg kemudian dikeringkan menjadi hingga kekeringannya
standar, yaitu dengan kadar air 37 %, menghasilkan rumput laut kering 10 kg
misalnya, maka menghitungnya adalah dari 10 kg dibagi 100 kg dikalikan 100%
rendemennya adalah 10%.
Beberapa pengalaman
penulis dan juga pengalaman para petani di Nunukan yang menggunakan konsep
‘penjemuran’ untuk mengurangi kadar air rumput laut menjadi layak untuk dijual,
yaitu dengan kadar air mencapai sekitar 37%. Kisaran rendemen bisa digolongkan menjadi 3,
yaitu rendemen rendah dengan angka di bawah angka 9 %, rendemen sedang dengan
angka antara 9 sampai 11 %, dan rendemen yang tinggi yaitu di atas 11 %.
Rendemen dan masa pengeringan
Ternyata ada korelasi
atau hubungan sebab dan akibat antara angka rendemen yang rendah dengan lamanya
penjemuran rumput laut. Pada penjemuran
rumput laut yang mencapai hingga 12 hari baru kering, waktu itu rendemen sekitar
7,5 %dari rumput laut basah menjadi rumput laut kering dengan kadar air sekitar
37 %. Waktu itu penulis membeli rumput
laut basah sekitar 10 ton, setelah 12 hari baru kering karena hampir setiap
hari waktu itu cuaca hujan dan mendung terus.
Setelah kering layak jual maka saat ditimbang hanya mencapai sekitar 750
kg.
Masa penjemuran yang
terlalu lama, selain menyebabkan rendemennya turun drastis juga mengakibatkan
kualitas rumput laut menurun dan bahkan mengalami kerusakan. Ini bisa dicoba dengan cara sebagai berikut : jika kita mengolah kembali RLK hasil
pengeringan yang relatif lama tersebut dengan cara direndam lagi ke dalam air
tawar maka terlihat permukaan rumput laut tersebut seperti diselimuti lapisan
berlendir atau seperti tepung yang hancur sehingga air rendaman terlihat
keruh. Ini menandakan kalau rumput laut
yang terlalu lama dijemur tadi mengalami kerusakan fisik dan biologis. Inilah yang menyebabkan rendemen Chips ATCnya
menjadi sangat rendah, maka akhirnya Pabrik juga bisa mem’blacklist’ pedagang
atau tempat asal bahan baku RLK tadi dari mana dibeli. Kalau mutu Chips ATCnya saja sudah rendah
maka jangan harap rendemen tepung SRC maupun Rcnya bisa standar, pasti akan
drop. Ini tentu akan merugikan pihak
pabrik.
Pengalaman yang dialami
rata-rata petani dengan cuaca agak bagus, dengan masa penjemuran antara 5
sampai 7 hari, rendemen yang dicapai berkisar pada angka antara 9-10 %. Petani
rumput laut di Nunukan sudah mulai menerapkan sistem penjemuran dengan
menggantung tali bentangan yang baru dipanen pada tiang-tiang jemuran. Cara seperti ini ternyata bisa memperbaiki
mutu dan rendemen rumput laut keringnya.
Pada saat cuaca normal maka biasanya petani perlu menggantungnya selama
2 (dua) hari. Setelah mulai layu dan
agak kering rumput laut dilepas dari tali dengan cara di’purut’. Pelepasan rumput laut dari talinya biasanya
dibantu dengan menggunakan alat purut dari balok kayu yang dilubangi dengan
ukuran sekedar tali bentangan bisa masuk.
Dengan menarik tali yang berisi rumput laut tadi maka rumput laut akan
tertahan dan terlepas pada lubang dibalik balok, maka rumput laut jatuh ke
bawah lepas dari talinya. Penarikan tali
pada saat pemurutan ini terhenti jika sudah menemui botol pelampung yang juga
diikat pada tali. Suapaya tidak lepas
tali botolnya maka botol diangkat sehingga botol pun aman saat melewati lubang
pemurutan.
Setelah rumput laut ini
terlepas dan terkumpul maka selanjutnya dilakukan penjemuran dengan meratakan
tumpukan rumput laut ini serata dan setipis mungkin. Semakin tipis dalam menyusun hamparan rumput
laut di tempat penjemuran, maka diharapkan proses pengeringan bisa semakin
cepat. Sebaliknya jika semakin tebal
maka proses pengeringan semakin lama dan proses pengeringan tidak merata. Oleh karena itu perlu dilakukan pembalikan
secara periodik sesering mungkin agar diperoleh kadar kekeringan yang merata.
Lazimnya proses
pengeringan hamparan ini memerlukan waktu sekitar 3 (tiga) hari. Sehingga jika dijumlah antara proses pelayuan
dengan menggantung tali selama 2 (dua) hari, maka jumlah waktu yang diperlukan
adalah selama 5 (lima) hari. Jika cuaca
agak mendung dan hujan maka jumlah harinya bisa mencapai 7 hari. Ini termasuk kategori sedang, dengan hasil
rendemen antara 9 – 11 %.
Untuk mencapai hasil rendemen
yang tinggi, maka perlu konsep pengeringan cepat atau disebut sebagai Quick
Drying. Proses pengeringan
cepat ini bisa dilakukan karena ingin diperoleh rendemen yang tinggi, mutu yang
sesuai standar dan rumput laut terhindar dari kerusakan. Semakin cepat kering berarti proses enzimatis
yang mengakibatkan terjadinya proses fermentasi, pembusukan dan proses
enzimatis lainnya bisa diminimalkan, sehingga kerusakan jaringan dan perubahan
sifat bisa dihindari semiminal mungkin.
Uji coba mengeringkan
dengan jumlah agak sedikit dengan masa pengeringan antara 3 sampai 5 hari,
rendemen yang dicapai berkisar antara 11-13 %.
Maka pengeringan cepat bisa dilakukan kurang dari 5 hari, bahkan kurang
dari 3 hari. Pada uji coba skala
laboratorium sebenarnya bisa dilakukan pengeringan dari bahan asal RLB dengan
sangat cepat atau Very Quick Drying dengan waktu sekitar 8 jam saja hingga
menjadi RLK dengan kadar air 15 %.
Pada proses pengeringan rumput
laut secara cepat dan sangat cepat akan melibatkan peran serta prinsip-prinsip teknologi
pengeringan, yaitu antara lain :
1.
Adanya
perlindungan dari terkena pengaruh dari luar seperti air hujan, kadar
kelembaban udara sekitar.
2.
Adanya sumber
energi yang mampu memberikan derajat panas tertentu untuk memanaskan bahan,
media pengering dan udara.
3.
Adanya aliran
udara dengan kecepatan dan massa tertentu.
4.
Adanya
pengaturan luas bidang penguapan dengan pengaturan ketipisan bahan atau proses
bolak-balik bahan.
5.
Adanya pengurangan
kelembaban di sekitar bahan yang dikeringkan.
6.
Adanya masa
atau waktu yang cukup untuk melaksanakan proses di atas.
Maka akhirnya penulis
berani menyimpulkan :
1.
Semakin lama
proses pengeringan rumput laut basah menjadi rumput laut kering, maka akan
terjadi penyusutan berat semakin banyak.
Penyusutan rendemen itu terjadi karena terjadinya proses enzimatis
karena fermentasi dan pembusukan dari rumput laut yang masih ‘basah’.
2.
Sebaliknya
jika proses pengeringan bisa dilakukan lebih cepat maka rendemen akan semakin
tinggi karena semakin minimalnya terjadi penyusutan.
3.
Maka perlu
dilakukan perubahan pola pasca panen dari konsep ‘penjemuran’ menjadi konsep
‘pengeringan’ dengan menggunakan teknologi pengeringan yang sudah sangat lazim
dilakukan pada produk-produk pertanian dan perikanan yang lain.
4.
Dengan konsep
pengeringan yang tepat dan cepat, maka akan diperoleh nilai tambah yang sangat
signifikan dalam meningkatkan kuantitas, kualitas dan pendapatan pada bisnis
rumput laut secara keseluruhan.
Jika hal ini dihubungkan
dengan analisa terhadap perbandingan bahan baku pabrik yang biasanya
mengandalkan setoran dari RLK yang diproses oleh para petani yang dilakukan
dengan sistem pengolahan Konvesional.
Terlihat sangat jelas perbedaannya dengan pengolahan yang dilakukan
secara Ideal dalam suatu laboratorium sebagaimana disajikan dalam tabel berikut
ini.
Gambaran dari Tabel di
atas memang masih dapat diperdebatkan, hal ini karena perbandingan ini
dilakukan atas hasil kajian yang berbeda waktu, ruang dan metode yang
dilakukan. Namun sengaja penulis
menyajikan hal ini untuk menjadi kajian lebih lanjut dengan metode yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sistem pengolahan
konvensional yaitu yang sudah lazim terjadi selama ini, dimana RLB yang dipanen
oleh petani kemudian dilakukan proses secara tradisonal yang tidak terstandar
cara, alat serta prosedurnya, sehingga menghasilkan RLK dengan mutu yang sangat
beragam. Bahan RLK yang diperdagangkan
hingga kemudian menjadi bahan baku pabrik pengolahan (Processor) diolah menjadi
Chips ATC, Tepung ATC, SRC, RC dan Keraginan Kertas.
Dari tabel yang disajikan
diatas, diproyeksikan dengan bahan baku RLB sebanyak 1000 kg, maka pola
konvensional ini akan diperoleh produk sebagai berikut, jika :
1.
RLK dengan
kadar air sekitar 37% sebanyak 100 kg, dengan nilai sebesar Rp 1.200.000.
2.
Chips ATC
dengan kadar air sekitar 15 % sebanyak 31,5 kg, dengan nilai sebesar : Rp 1.890.000.
3.
Refined Carageenan
(RC) sebanyak 23,6 kg, dengan nilai sebesar Rp 4.720.000.
Pada suatu uji coba yang
sangat ideal yang dilakukan di dalam laboratorium, dimulai dengan mengolah RLB
yang segar berasal dari panen di laut.
Proses pengeringan sangat cepat dilakukan dengan bantuan oven dengan expose
aliran panas konstan tertentu yang
sebelumnya juga melalui treatment larutan alkali. Hasil yang diperoleh sangat mencengangkan,
sebagai berikut :
1.
RLK dengan
kadar air sekitar 37% sebanyak 120 kg, dengan nilai sebesar Rp 1.440.000.
2.
Chips ATC
dengan kadar air sekitar 15 % sebanyak 67,92 kg, dengan nilai sebesar Rp 4.075.200.
3.
Refined
Carageenan (RC) sebanyak 45,96 kg, dengan nilai sebesar Rp 9.192.000.
Dari angka di atas sudah
menjelaskan kepada kita bahwa sangat penting dan strategis untuk melakukan pengelolaan awal yang benar terhadap
produk rumput laut ini, yaitu mengelola dengan benar dan cepat terhadap rumput
laut basah (RLB) dengan sistem pengeringan yang cepat menjadi rumput laut kering yang berkualitas
prima. Sebab dengan RLK yang berkualitas
prima lah yang nanti akan menentukan nilai hasil baik dalam kuantitas maupun
kualitas produk-produk hilir rumput laut selanjutnya.
Ternyata pola
konvensional ini harus segera diperbaiki agar mampu memberikan nilai tambah
yang signifikan terhadap hasil rumput laut kering, chips ATC maupun hingga tepung
Keraginannya. Hal ini harus sangat
diseriusi agar potensi kehilangan diperkecil, dan sebaliknya prospek nilai
tambah ini dimaksimalkan untuk kemajuan, kemandirian, daya saing dan keberlanjutan
usaha bisnis rumput laut ini di seluruh Indonesia. Tentu saja wa bil khusus Kabupaten Nunukan,
dimana penulis ada di dalamnya.
Bagaimana menurut Anda???