Sabtu, 19 Oktober 2013

Rumput Laut Angkat Ekonomi Masyarakat Pesisir di NTB

JEMUR RUMPUT LAUT : Seorang warga sedang menjemur rumput laut hasil panen di kawasan Grupuk, Loteng. (Suara NTB/Humas Setda NTB)


Rumput Laut Angkat Ekonomi Masyarakat Pesisir



Menurut Hasan, Petani Rumput Laut Dusun Grupuk, Lombok Tengah :
“Sekarang rumput laut sudah jadi roh perekonomian masyarakat di sini, tanpa rumput laut mungkin kami resah berkepanjangan”

Sedangkan menurut  Amak Eko, Petani Rumput Laut Dusun Grupuk, Lombok Tengah,  ‘’Kalau mengandalkan hidup dengan melaut seperti dulu, kain yang bisa saya belikan untuk istri, akan kami jual pada musim angin. Kalau sekarang, dengan rumput laut, penghasilan kami jauh lebih meningkat”

Banyak isu miring dan tudingan negatif yang beredar mengenai program bantuan pengembangan rumput laut yang disalurkan Pemprov NTB ke masyarakat pesisir. Ada yang menganggap salah kaprah, ada juga yang menuding sebagai bentuk pemborosan. Lantas, bagaimana fakta di lapangan, apa kata para penerima manfaat dari program pengembangan rumput laut ini?.

MENGANDALKAN kepulan asap dapur keluarga dari hasil tangkapan ikan di laut, apalagi dengan alat tangkap dan perahu mesin berukuran kecil, tidak ubahnya berharap agar air laut tanpa gelombang besar. Tidak bisa diprediksi, kapan angin dan arus akan datang mendorong ombak besar ke pantai.
Selain hasil tangkapan yang hanya cukup untuk makan, musim juga memaksa para nelayan memarkir perahu di bibir pantai. Sehingga disaat musim angin barat, hamper seluruh aktifitas nelayan di laut terhenti. Kondisi ini telah berlangsung lama secara turun temurun di Dusun Gerupuk, Lombok Tengah. Sehingga sebagian besar warga masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Namun, kondisi ini kini mulai berbalik, laut tetap menjadi tumpuan ekonomi masyarakat, tetapi tidak lagi mengandalkan ikan terjaring di jala atau ujung pancing nelayan. Sejak pemerintah memperkenalkan warga berbudidaya rumput laut, sebagian kehidupan warga mulai berubah. Kondisi ini terus membaik sejak Pemprov NTB menggalakkan budidaya rumput laut bagi masyarakat pesisir. Sejak program ini digulirkan dengan memberikan warga bantuan perlengkapan dan modal usaha, serta dilatih kemampuan teknis budidaya rumput laut, usaha budidaya rumput laut di Dusun Gerupuk semakin berkembang.

Para nelayan di Teluk Gerupuk mengakui, usaha budi daya rumput laut di kawasan itu sudah cukup lama, apalagi telah ada instalasi Balai Budi Daya Laut Lombok, salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jenis rumput laut jenis Eucheuma cottoni yang dikembangkan di Teluk Gerupuk itu awalnya didatangkan dari Maumere, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 2006. Setelah dibekali pengetahuan teknis, para nelayan di sana mulai menggeluti usaha budi daya rumput laut itu.    

Awalnya, hanya ada dua kelompok pembudidaya yang beroperasi di Dusun Gerupuk. Usaha budi daya ini semakin menggeliat ketika para nelayan mendapat dukungan paket bantuan pengembangan usaha dari Pemerintah Provinsi NTB, berupa tali untuk "long line", dan peralatan lainnya, serta bibit rumput laut. Bantuan modal usaha bergulir itu nilainya sekitar Rp10 juta per paket, yang diberikan kepada sedikitnya 20 orang nelayan dari berbagai kelompok usaha budi daya, sejak 2010. Kini, jumlahnya sudah semakin bertambah setiap tahun. Masing-masing kelompok beranggotakan 10-15 orang. "Sekarang rumput laut sudah jadi roh perekonomian masyarakat di sini, tanpa rumput laut mungkin kami resah berkepanjangan," ujar Hasan (34 tahun), selaku ketua salah satu kelompok pembudidaya rumput laut saat diajak berbincang-bincang soal budi daya rumput pekan lalu.

Tingginya produktifitas dari aktifitas budidaya rumput laut ini juga didukung kondisi perairan di Dusun Gerupuk yang berbentuk teluk. Sehingga budi daya rumput laut di kawasan ini tidak mengenal musim, sepanjang tahun bisa dilakukan. Dalam setahun, warga bisa enam kali panen. Mei hingga Agustus merupakan waktu yang paling tepat untuk budi daya rumput laut. Bulan lainnya juga dibolehkan namun hasilnya kurang memuaskan terkait cuaca.

Terdapat sembilan kelompok nelayan yang bergelut pada budi daya rumput laut jenis Eucheuma cottoni di Teluk Gerupuk. Kelompok lainnya seperti Bangkit Bersama II dan Ingin Maju I. Setiap kelompok memiliki 10-15 orang anggota nelayan. Setiap anggota kelompok nelayan itu memiliki 1-5 area budi daya rumput laut yang dikenal dengan sebutan "long line" atau area budi daya rumput laut yang ditandai dengan bentangan tali dengan ukuran 50 x 50 meter.

Setiap "long line" dapat menghasilkan 2,5 ton rumput laut basah, setelah dikeringkan menghasilkan 375 kilogram, atau setiap satu kwintal (100 kilogram) rumput laut basah yang dikeringkan akan menjadi 15 kilogram rumput laut kering. Harga jualnya mencapai Rp1.000/kilogram rumput laut basah, dan Rp5.000/kilogram rumput laut kering, sehingga omset yang dapat diraih dari satu "long line" dapat mencapai Rp15 juta.

"Satu anggota kelompok ada yang punya sampai lima long line sehingga bisa menghasilkan uang banyak. Itu sebabnya, kami suka budi daya rumput laut," ujar Hasan yang diamini Amaq Tari yang merupakan anggota Kelompok Nelayan Ingin Maju I.

Pengakuan yang sama juga diungkapkan Amaq Eko, ketua kelompok Nelayan Bangkit Bersama II mengenai aktifitas budidaya rumput laut yang digeluti. Jika dibandingkan dengan aktifitas nelayan tangkap, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, hasil yang diperoleh jauh lebih besar. ‘’Kalau mengandalkan hidup dengan melaut seperti dulu, kain yang bisa saya belikan untuk istri, akan kami jual pada musim angin. Kalau sekarang, dengan rumput laut, penghasilan kami jauh lebih meningkat,” ungkap Amak Eko.

Wajar saja, jika para nelayan di teluk Gerupuk itu mulai berangan-angan hendak menyekolahkan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi. Bahkan, beberapa diantara mereka sudah mulai membidik universitas top di Pulau Jawa, meskipun anak-anak mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Apalagi, mereka juga menekuni aktivitas rutin yakni menangkap ikan di laut, dan usaha budi daya lobster, yang mampu menghasilkan jutaan rupiah setiap bulan.
 
Pengembangan agribisnis rumput laut merupakan salah satu program unggulan yang dirangkai dengan program Bumi Sejuta Sapi (BSS) dan pengembangan agribisnis jagung, yang dikenal dengan sebutan Pijar (sapi, jagung dan rumput laut). Komoditas unggulan Pijar ini diimplementasikan sejak 2009. Kegiatan prioritas dalam pengembangan rumput laut antara lain pengembangan kawasan minapolitan baik di Pulau Lombok maupun Sumbawa. ‘’NTB patut berbangga karena telah memulai pengembangan kawasan minapolitan meskipun terbatas pada komoditas rumput laut. Berbeda dengan daerah lainnya yang baru mencari kawasan pengembangan minapolitan," kata Kepala Bappeda NTB Dr H Rosiady Sayuti.

NTB menargetkan jumlah produksi rumput laut, 2013 mendatang bisa menembus angka satu juta ton dengan kualitas standar ekspor. Kedepan, diharapkan bisa dikembangkan industry olahan, dengan pembangunan pabrik karaginan. Dari seluruh aktifitas budidaya dan industry rumput laut ini, diprediksi bisa menyerap 149.140 orang naker dengan perputaran uang sekitar Rp3,35 triliun rupiah.

Daerah yang kini dipimpin Dr TGH M Zainul Majdi yang tercatat sebagai Gubernur termuda di Indonesia ini, juga mengembangkan program pengembangan bibit rumput laut berkualitas, bantuan sarana untuk pengembangan rumput laut dan penanganan pascapanen, serta progam pendukung lainnya. Teluk Gerupuk merupakan satu dari 10 kawasan minapolitan untuk komoditas rumput laut di NTB. Diantaranya di Pengantap dengan potensi areal 600 hektare, yang sudah diberdayakan kurang lebih 300 hektare. Sedangkan di Minapolitan Gerupuk, potensinya kurang lebih 200 hektare. Ada juga sentra di Teluk Ekas Lombok Timur dengan potensi 400 hektare, Teluk Sarewe dengan potensi 800 hektare . 60 persen diantaranya telah dimanfaatkan nelayan setempat.

Selanjutnya, sentra minapolitan rumput laut di Teluk Awang Kabupaten Lombok Timur, dengan potensi 400 hektare dan baru setengah yang diberdayakan. Sementara sentra minapolitan rumput laut di Pulau Sumbawa berada di Kertasari Kabupaten Sumbawa Barat dengan potensi 400 hektare dan 80 persen diantaranya sudah diberdayakan.

Sentra minapolitan rumput laut di Kabupaten Sumbawa terletak di Labuhan Mapin dengan potensi 300 hektare namun baru 10 persen yang diberdayakan. Sentra minapolitan rumput laut di Kecamatan Terano (Sumbawa) dengan potensi 2.000 hektare namun baru 100 hektare yang diberdayakan. Demikian pula sentra minapolitan rumput di Kuangko, Kabupaten Dompu yang potensinya mencapai 800 hektare namun baru 350 hektare yang diberdayakan. Sentra minapolitan rumput laut di Waworada, Kabupaten Bima, potensinya mencapai 2.000 hektare namun pemanfaatannya baru 10 persen.

Versi Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, produksi rumput laut terus mengalami peningkatan dari sebanyak 32 ribu ton lebih di tahun 2006 menjadi 36 ribu ton lebih di tahun 2007 dan hampir 70 ribu ton di tahun 2008 dan 100 ribu ton di tahun 2009 serta hampir 200 ribu ton di 2010, dan 400 ribu ton di akhir 2011. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB menargetkan produksi rumput laut sebanyak 750.000 ton di akhir 2012, dan satu juta diakhir 2013. "Produktivitas itu masih bisa ditingkatkan lagi karena potensinya dapat mencapai 23 ribu hektare yang menyebar di berbagai kabupaten, yang sampai saat ini baru 6.700 hektare yang dimanfaatkan," ujar Ali.

Hanya saja, pemerintah perlu menggandeng lembaga perbankan guna mendanai pengembangan rumput laut di wilayah NTB, sekaligus membantu nelayan mengelola keuangan mereka. Setidaknya, janji Direktorat Pemasaran dan Pengolahan Hasil Kementerian Perikanan dan Kelautan bahwa akan terlibat langsung dalam memfasilitasi keterlibatan lembaga perbankan dalam pengembangan rumput laut di NTB, patut direalisasi.(tim)

Sumber Resmi : http://www.ntbprov.go.id/baca.php?berita=1541
Sumber link : http://rumputlautorganik.blogspot.com/2013/10/rumput-laut-angkat-ekonomi-masyarakat.html





Tidak ada komentar:

Posting Komentar