Sabtu, 19 Oktober 2013

“Potensi Takalar” Menggantung Harapan di Rumput Laut

“Potensi Takalar” Menggantung Harapan di Rumput Laut

coba2

SEPANJANG jalan menuju Desa Laguruda tampak sepi. Aktifitas masyarakat mulai terlihat hidup ketika memasuki wilayah pantai di desa ini, Rabu (22/5). Sekelompok ibu-ibu dibantu anak mereka yang umumnya perempuan tampak tengah ”merakit” bibit rumput laut yang diikatkan pada tali pelastik.
Pekerjaan itu dilakukan di bawah kolong rumah panggung–sekitar 50 meter dari bibir pantai. Sementara desiran ombak laut tak pernah berhenti mengiringi tiupan angin sepoi-sepoi yang bersahabat di siang yang cerah itu.
Usai menyelesaikan tugasnya, tak lama kemudian lilitan bibit rumput laut itu dipikul dua pria kemudian dibawa ke laut untuk kemudian ”ditanam” dengan cara dibentang di permukaan laut sekitar seratus meter dari pantai.

Dari kejauhan tampak pelampung-pelampung dari botol berbahan pelastik mengapung diantara rumput laut yang sudah ditebar.
Menurut salah seorang petani rumput laut di Desa Lagaruda, Arsyad Duni (39), bibit yang sudah ”ditanam” itu menunggu waktu empat puluh hari untuk dipanen.
Dia mengaku sedikitnya ada tiga pengumpul di desa ini yang siap menadah hasil panen mereka sebelum sampai ke investor. Dalam kondisi normal, setahun petani bisa empat sampai lima kali panen.

Arsyad mengaku membeli bibit Rp 2500 per 1 kg. Namun harga itu impas jika dijual basah perkilogram. Dia baru mendapat untung jika rumput laut dijual dalam keadaan kering mencapai Rp 6.000 sampai Rp 7000 perkilogram.
”Dibanding menangkap ikan, keuntungan memang lebih besar di rumput laut. Apalagi jika harga lagi membaik,” kata Arsyad yang mengaku sudah delapan tahun bergelut sebagai petani rumput laut.
Lelaki itu kini menggantungkan hidup keluarganya pada ”emas hijau” ini ketimbang menangkap ikan di laut lepas yang katanya cukup berisiko.

Soal penghasilan, Arsyad mengungkapkan rata-rata sekali panen rumput laut dalam rentang 45 hari dia mengantongi keuntungan Rp 2.500.000. Namun demikian tidak jarang petani juga kesulitan modal karena bantuan yang mereka dapat sebagai konstribusi dinas kelautan setempat sebatas penyuluhan teknis budi daya, bantuan tali dan para-para untuk menjemur rumput laut.
”Padahal kami juga butuh modal untuk membeli bibit dan kebutuhan lain,” tuturnya.
Dalam 100 bentangan tali bibit yang ditebar bisa menghasilkan 400 kg sampai 1 ton rumput laut. Sedangkan untuk menghasilkan rumput laut kering berkualitas baik butuh 3 sampai 4 kali penjemuran diterik matahari.

Umumnya rumput laut yang dikembangkan adalah jenis Lawi Lawi (Caulerpa sp) sebagai komoditas primadona baru masyarakat pesisir.
Lain lagi cerita Mirna (20) yang mewarisi pekerjaan orang tuanya sebagai pengumpul rumput laut di Desa Lagaruda. Sejak SMP wanita desa ini sudah membantu orang tuanya mulai dari mengikat bibit sampai menimbang rumput laut hasil panen yang dibawa petani untuk dijual.

Gmb 1 

Tentu saja bagi pengumpul tidak ada kamus rugi bagi mereka. Harga ditingkat petani akan lebih mahal dibanding di tingkat pabrik (investor) yang menadah hasil ”ijon” mereka. Apalagi jika mutu rumput laut dinilai berkualitas maka pihak perusahaan akan memberi nilai lebih.
Di Takalar, baru ada satu perusahaan yang menampung rumput laut hasil panen petani disana yakni PT Giwang. Namun menurut keterangan pihak Dinas Kelautan & Perikanan Takalar, perusahaan ini tidak terlibat langsung soal budidaya karena tidak mau menerima risiko. Pihak perusahaan hanya bersedia membeli rumput laut berkualitas yang sudah disortir atau dipilah. Karena itu baru 10 persen rumput laut yang diserap oleh perusahaan ini dari jumlah produksi yang ada di Takalar, padahal konstribusi rumput laut daerah ini untuk Provinsi Sulsel terbesar ketiga di Indonesia.
Rumput laut lawi-lawi menjadi menu sehari-hari warga di sini sebagai pengganti sayur dan dikomsumsi dalam kondisi segar bersama nasi dan ikan. Kini, lawi-lawi berpeluang untuk diekspor ke Korea dan Jepang, sebab mengandung jelly dan konon berkhasiat sebagai anti jamur, anti tumor, dan rematik atau bahan dasar kosmetik.

Karena rumput laut telah menjadi trend ekonomi penghasil vulus yang lumayan, warga di pesisir mulai mematok laut sebagai lahan pertanian mereka. Namun, di Desa Laguruda petani membentuk kelompok sampai 10 orang sehingga dengan berjibaku menanam rumput laut, mereka bisa menikmati hasil panen yang lumayan banyak dengan ratusan sampai ribuan bentangan tali bibit.
Takalar terbilang berhasil mengembangkan jenis rumput laut Lawi Lawi (Caulerpa sp) sebagai komoditas primadona baru masyarakat pesisir.

Menurut Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Takalar, baru 14.128 hektar lahan yang dimanfaatkan petani rumput laut dari luas potensi lahan mencapai 17.448 hektar. Dari lahan yang sudah digarap petani baru menghasilkan 474.346 ton rumput laut basah per tahun. Potensi itu tersebar di empat kecamatan yaitu Mangarabombang, Mappakasunggu, Sandrobone, dan Galesong Utara. Sementara harga rumput laut kering di petani cukup menggiurkan,  Rp 7000 sampai Rp 9000 per kilogram.

Namun demikian, dia mengakui kesejahteraan petani belum merata karena mereka masih susah mendapatkan bantuan modal dan mereka masih tergantung kepada pengijon.
Tampaknya, optimalisasi potensi kelautan dan perikanan Takalar khususnya rumput laut perlu terus dikembangkan mengingat hingga sekarang baru tergarap sekitar 70 persen dari seluruh potensi yang dimiliki. Pengembanganya memang harus ditingkatkan dengan berbagai terobosan yang mumpuni. Terutama dalam hal pendampingan kelembagaan petani/nelayan, agar mereka memiliki kemampuan untuk dapat berkembang menjadi profesional.

Potensi wilayah Kabupaten Takalar tidaklah sedikit, ambil contoh seperti pesisir Sanrobone dan Mangarabombang yang bukan hanya diusahakan oleh para nelayan tradisional untuk penangkapan ikan. Akan tetapi juga menjadi lirikkan investor karena rumput lautnya yang cukup terkenal dan pantainya yang indah.

Dari data yang ada, pendapatan asli daerah (PAD) terbesar di Takalar salah satunya bersumber dari pengelolaan komoditas rumput laut yang dilakukan masyarakat pesisir.
Takalar memproduksi banyak sekali rumput laut dengan kualitas yang bagus dan saat ini permintaan luar negeri melonjak terutama dari Korea.

Tidak heran kalau Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, memagangkan petani rumput laut di sentra budidaya rumput laut Kabupaten Takalar, belum lama ini.
Pemagangan petani rumput laut tersebut bertujuan agar mereka memahami proses pembudidayaan untuk meningkatkan produksi. Rumput Laut Takalar memang jadi komoditas andalan Sulsel.
Apalagi, sentra budidaya rumput laut kabupaten ini dipilih karena sudah terkenal sebagai pusat riset rumput laut terutama terkait budidaya yang baik. Sedangkan secara skala nasional, rumput laut Takalar masuk yang terbaik di Indonesia. Bibitnya pun sebagian didatangkan dari Bali.

Sebagai langkah awal dukungan terhadap peningkatan mutu produksi, DKP Takalar telah membentuk program pendataan desa dan lurah yang berada di pesisir pantai. Melalui program ini akan dilakukan perbaikan sistem dan penataan daerah pesisir, mulai dari manajemen pengelolaan komoditas hingga pembagian hasil ke pemerintah kabupaten.

Salah satu kabupaten yang berhasil mengembangkan rumput laut itu sebagai komoditas andalan adalah Kabupaten Takalar. Berbeda dengan Kabupaten Pangkep yang menggunakan metode apung, di Takalar budidaya rumput laut dilakukan dengan metode lepas dasar karena memiliki pasang surut rendah. Keberhasilan produksi rumput laut sangat ditentukan oleh pemilihan bibit dan lokasi yang tepat untuk pertumbuhannya. Dengan masa tanam 45 hari, satu bentangan (tali) mampu memproduksi rata-rata 45 kg dengan kisaran harga (kering) Rp 6000 – Rp 7000. Sehingga per bentangan, petani rumput laut bisa memperoleh Rp 24.000 dari hasil panennya.

Ekonomi Biru


gmb 2 

Tampaknya sejalan dengan pendapat pakar Perikanan Universitas Hasanuddin, Prof Dr Ir Yusran Nur Indar, M.Phil bahwa pemerintah Takalar harus terus mendorong pengelolaan sumber daya alam kelautan khususnya komoditas rumput laut yang berbasis masyarakat untuk pencapaian ekonomi biru.

Ekonomi Biru adalah ekonomi yang merupakan bisnis model yang memberikan peluang untuk pengembangan investasi dan bisnis yang lebih menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan, namun langit dan laut tetap biru

Urgensi pendekatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan berbasis masyarakat ini, akan mampu menjawab ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem.
Dengan mengimplementasikan hal itu di lapangan, maka yang diamanatkan dalam pencapaian cita-cita ekonomi biru kelautan dan perikanan di wilayah pesisir dapat tercapai.
Pengelolaan SDA perikanan yang berbasis masyarakat itu dengan berorientasi konservasi maupun yang menekankan faktor sosial ekonomi, dapat dilihat dari komunitas nelayan atau petani rumput laut yang memerlukan wadah untuk mengorganisir mereka.

Jadi, sudah selayaknya pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dan cita-cita pencapaian ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat pesisir Takalar harus didukung bersama.
Sudah saatnya pengelolaan rumput laut tidak hanya mengandalkan satu investor seperti PT Giwang di Takalar, namun pemerintah seyogianya mengembangkan industri pengolaan rumput laut ini secara lokal dan nasional berbasis teknologi.

Kita optimis, pengembangan segmen ini akan berdampak pada harapan besar sektor kelautan khususnya rumput laut di Takalar yang sangat potensial dapat dikelola dengan baik dan memberikan multiefek yang positif bagi ekonomi masyarakat Takalar dan Sulsel secara umum.
Disini diharapkan pemerintah kabupaten/kota dan provinsi dapat bersinergi untuk mendorong dan mendukung pengelolaan sumber daya alam kelautan yang berbasis masyarakat.
Seperti kisah warga Desa Lagaruda Kecamatan Sanrobone Takalar. Mereka kini bergantung hidup pada rumput laut sebagai keunggulan pertanian mereka yang memberi harapan cerah bagi masa depan.

Rumput laut menjadi berkah yang melimpah. Tapi, adakah mereka telah menikmati sepenuhnya hasil jerih payah selama ini. Atau hasil peluh mereka hanya lebih menguntungkan bagi pendapat asli daerah, pengijon atau perusahaan ketimbang yang mereka dapatkan? Karena sampai kapanpun petani disana tetap menggantungkan harapan pada rumput laut sebagai sumber kehidupan hingga anak cucu.(*)

Sumber :  http://suaratimur.com/?p=596

1 komentar:

  1. personal pemimpin yang taggap akan potensi, sekaligus keramahtamahan masyarakat akan pembangunan yng berkeadilan menurut undang-undang dan religius masyarakat ,saling menunjang satu dengan yang lainnya

    BalasHapus